Halaman

Sabtu, 30 April 2011

Adinda, Ananda Merindukanmu…




Awan hitam kian menebal. Jendela hening menjemput malam. Mulai dingin dan tak acuh. Sepi. Seorang balita perempuan berusia sekitar dua tahun terdiam. Dipeluknya majalah bersampul perempuan yang manis dengan kerudung. Katanya, sembari mengeja luka, “Mama…”
Arrrgghh…anak itu masih memanggilnya mama. Tahu apa dia deskripsi tentang mama. Luka. Hanya luka. Anak itu tidak tahu betapa mamanya “mencintainya” hingga ia diberi kesempatan penuh untuk hidup hanya bersama sang bapak tercinta. Ya, balita perempuan itulah anakku, Nabila Kesya namanya.
***
Adinda. Aku mengenalnya tiga tahun sebelum aku memutuskan untuk menikahinya. Usia kami terpaut cukup jauh. Sepuluh tahun! Tapi, kupikir itu bukanlah alasan yang cukup baik baginya untuk menolakku sebagai calon suaminya. Gadis manis, berperawakan tinggi langsing, berkulit kuning langsat, berlesung pipi. Aduhai cantiknya, apalagi dibalut kerudung jingga yang ketika itu pertama kali ia kenakan. Subhanallah…
Kami berkenalan saat tampias hujan mengiringi pada satu sore di halte depan sekolahnya. Ketika itu ia masih duduk di bangku SMA kelas dua. Maka, perkenalan kami pun berlanjut. Sebagai seorang lelaki yang secara usia lebih dewasa darinya, maka aku menganggap hubungan ini serius dan tidak main-main. Setelah ia lulus sekolah, aku membuka perbincangan untuk lekas meminangnya. Namun, ia menolak. Katanya, “aku belum siap.” Aku pun bersedia menunggu hingga ia siap. Jujur, aku serius dengannya.
Masih teringat, saat itu Minggu siang. Di ruang tamu, ia duduk sembari gundah. Aku baru datang dan lekas menghampirinya.
“Mas Ari, dua minggu lagi kita harus menikah!” katanya.
“Dua minggu lagi? Tidak terlalu cepat?” aku menjawab sembari terkejut. Aku bukan tidak ingin menikahinya, tapi bukankah pernikahan itu butuh banyak persiapan.
“Ah, Mas ini bagaimana? Waktu itu bukankah Mas yang menginginkan agar kita menikah lebih cepat? Ya, kita harus menikah dua minggu lagi. Sehari setelah Mbak Ratih menikah,” jelasnya.
Mbak Ratih adalah kakak perempuan Adinda, yang juga kakak iparku. Usia Mbak Ratih hanya terpaut empat tahun dari usia Adinda. Aku menghormatinya. Aku telah menganggapnya seperti kakak kandungku sendiri meskipun ia jelas-jelas lebih muda dariku. Maka dari itu, aku tetap memanggilnya dengan sebutan ‘mbak’.
Jika digambarkan secara fisik, Adinda memang lebih cantik dibandingkan kakak perempuannya. Adinda juga lebih berpendidikan daripada Mbak Ratih yang hanya sampai pada tingkat menengah.
“Kenapa harus sehari setelah Mbak Ratih? Kita perlu persiapan yang matang, Din…” tukasku.
“Persiapan yang mana lagi yang Mas maksud? Kita sudah saling kenal lebih dari setahun, dan menurutku itu cukup untuk kita membangun rumah tangga. Atau, jangan-jangan memang Mas sudah tidak berniat lagi memperistriku?”
“Bukan begitu maksudku. Baik, kalau itu memang keinginanmu. Semoga semuanya dimudahkan.”
Dalam perjalanan pulang ke rumah, aku berpikir, mengira-ngira hal yang menyebabkan Adinda sedemikian inginnya menikah sehari setelah Mbak Ratih menikah. Ah, tapi kupikir ini salah. Tidak baik berprasangka buruk terhadap orang yang kita cintai. Toh, aku telah berkomitmen menyayanginya selamanya dan menjadikannya ibu bagi anak-anak kami nanti.
Adinda, lukisan termanis dalam sketsa hatiku. Akulah pelukisnya. Dari wajahnya kugoreskan tebal tipis pesona. Cantik nian gadis itu. Dan tak beberapa lama lagi aku akan hidup bersamanya. Tak peduli betapa keras kepalanya ia. Yang jelas, telah kubayangkan bagaimana kelak anak-anakku bahagia. Mereka memiliki ibu yang istimewa, cantik, dan tentu saja cerdas. Kuakui, semangat Adinda untuk terus belajar sangat tinggi. Ia perempuan pintar yang pernah kukenal. Dalam riwayat pendidikannya, tak jarang prestasi terbaik diraihnya. Demikian pula dalam kehidupan kariernya. Ia selalu bersemangat meraih cita-citanya menjadi seorang akuntan. Aku kagum pada Adinda.
Hari pernikahan kami pun tiba. Tepat satu hari setelah Mbak Ratih menikah. Pesta yang sederhana. Hanya kerabat dekat saja yang kami undang. Sebenarnya, aku agak kecewa. Aku mengharapkan pesta yang lebih meriah daripada itu. Bukankah, ritual pernikahan ini hanya akan berlangsung sekali seumur hidupku, kecuali memang terjadi suatu hal dengan kami. Hmm, tapi aku tak berani membayangkannya. Aku telah cukup bahagia. Aku resmi menjadi suami Adinda. Harapku, menjadi bingkai yang menjaga hatinya.
Setelah menikah, kami memutuskan untuk lekas menempati rumah baru yang memang telah kusiapkan. Rumah yang sederhana, tidak terlalu buruk namun juga tidak terlalu mewah. Aku menyebutnya ‘rumah istimewa’ untuk kami berdua. Ya, lelucon saja sebenarnya. Apalagi ditambah dengan celetukan istriku, “Mas Ari, Mas Ari, kenapa kamu namakan rumah ini rumah istimewa? Lha, apanya yang istimewa? Hehe…”
Aku hanya tersenyum. Tidak menganggapnya terlalu serius. Aku tahu, itu hanya bercanda. Sudah sering memang Adinda melontarkan canda tawanya, yang bagi beberapa orang mungkin agak terkesan ‘meremehkan’. Itulah pekerjaan besarku sebagai suami. Aku wajib menuntunnya, mengajarkannya banyak hal. Dan aku yakin, jika pekerjaan besar itu dilakukan dengan cinta maka semuanya akan menjadi mudah. Aku sangat percaya itu.
Ketika kami menikah, Adinda masih semester empat. Hebatnya lagi, ia kuliah sambil bekerja. Sejak pukul delapan hingga pukul tiga sore ia bekerja di sebuah kantor akuntan publik, dan malam hari sekitar pukul tujuh malam ia kuliah di salah satu universitas swasta ternama. Ya, meskipun istriku itu tidak seperti istri-istri yang kebanyakan yang lebih banyak mengurusi keperluan rumah tangga, aku tetap bangga. Aku ikhlas membantunya, mengantar jemput kemana pun ia pergi, ikhlas pula walaupun ia tak cerdas mempersiapkan keperluanku seperti lazimnya seorang istri. Aku bahagia jika ia bahagia.
***
Selang tiga bulan setelah menikah, sepulang dari kantor, Adinda mengatakan, “Mas, tadi di kantor aku sakit, badanku panas, perutku mual. Aku langsung dibawa ke rumah sakit sama Pak Irwan. Kata dokter, aku hamil.”
Aku luar biasa bahagia mendengar kabar itu, “Alhamdulillah…”
“Mas senang?” tanyanya.
“Tentulah, Din. Siapa yang tidak senang jika seorang suami dikabarkan bahwa istrinya sedang hamil? Betapa luar biasa seorang perempuan yang sebentar lagi akan memiliki anak-anak yang lucu dan mungil…” aku menjawabnya dengan bahagia yang menggebu-gebu.
Adinda diam. Wajahnya terpancar raut yang biasa saja. Datar. Seperti tidak terjadi apa-apa.
“Kamu kenapa sayang? Kamu masih mual?”
“Hmm, tidak.”
“Lantas kenapa kamu diam?”
“Aku heran sama Mas.”
“Lho, kenapa heran?”
“Ya, heran. Melihat Mas terlalu senang. Aku tak habis pikir.”
Sejurus kemudian suasana menjadi hening. Baru kali ini perbincangan kami serius dan lama-kelamaan menjadi dingin kemudian beku. Apalagi ketika ia menjelaskan bahwa kehamilannya itu di luar rencanaya. Tidak ada perhitungan atas ini. Tidak seharusnya ia hamil dalam situasi yang seperti ini. Adinda masih ingin membangun karier dan mengenyam pendidikan.
“Mas, aku masih ingin cerdas.”
“Kamu cerdas, Dinda… Tanpa sekolah tinggi pun, aku yakin kamu cerdas.”
“Bukan hanya itu, Mas. Aku masih ingin mengejar cita-cita,” jawabnya.
“Kamu akan tetap bisa mengejar cita-cita, sayang. Jangan takut, aku selalu mendukungmu! Apa pun itu,” aku menenangkannya.
Setelah perbincangan itu, waktu kian berlalu. Makin lama perutnya makin membesar. Aku bahagia melihatnya. Istriku justru semakin terlihat cantik. Aku makin mencintainya. Cintaku semakin habis tercurah untuknya yang berbadan dua. Akan tetapi, ia masih belum bahagia sepenuhnya.
***
“Ari, segera ke rumah sakit sekarang. Adinda sedang dalam proses persalinan. Kami tunggu ya Nak,” suara ibu mertua di ponselnya sana.
Kukemudikan sepeda motorku hingga laju terus sekencang-kencangnya. Aku sudah tak sabar untuk segera sampai di rumah sakit. Alhamdulillah, sesampainya di sana istriku telah menyelesaikan proses persalinan dengan lancar. Aku mencium istriku dan bayi pertama kami dengan sejuta keharuan. Lagi-lagi, semakin aku mencintainya. Rasanya, aku ingin berteriak dan katakan, “Istriku yang cantik ini, Adinda, telah membuatku bahagia bertubi-tubi!” Aku menatap wajah Adinda yang pelan-pelan menitikkan air mata. Semoga yang kubaca itu benar, bahwa keharuannya sama seperti yang aku rasakan.
Seminggu setelah melahirkan, Adinda mulai beraktivitas seperti sebelumnya. Pagi pergi ke kantor, dan malam pergi kuliah. Anak kami, Nabila Kesya, sepakat kami titipkan pada ibu mertua, ibu Adinda. Namun sayangnya, ia masih merasa seperti belum memiliki seorang anak. Maka, tak heran kalau waktuku justru lebih tercurah untuk Nabila. Ya, seperti bertukar peran saja antara aku dan Adinda.
Tanpa aba-aba sebelumnya, dua bulan setelah Nabila lahir Adinda mengatakan bahwa ia meminta agar aku menceraikannya. Aku tak habis pikir dengan jalan pikirannya sekarang. Yang kutahu, sebelumnya kami memang baik-baik saja. Aku pun bingung. Katanya, hanya satu alasan bahwa keluarga kami sudah tidak bisa bersatu lagi, dan sudah tak ada cinta lagi di antara kami. Jujur, aku masih mencintainya. Namun, apa boleh buat. Aku tak bisa mempertahankannya, jika ia keputusannya itu memang sudah bulat.
Akhirnya, kini Nabila Kesya aku asuh sendiri dengan bantuan seorang baby sitter, yang juga tetanggaku. Aku masih mencintai Adinda. Awan hitam kian menebal. Jendela hening menjemput malam. Mulai dingin dan tak acuh. Sepi. Seorang balita perempuan berusia sekitar dua tahun terdiam. Dipeluknya majalah bersampul perempuan yang manis dengan kerudung. Katanya, sembari mengeja luka, “Mama…”
Arrrgghh…anak itu masih memanggilnya mama. Tahu apa dia deskripsi tentang mama. Luka. Hanya luka. Anak itu tidak tahu betapa mamanya “mencintainya” hingga ia diberi kesempatan penuh untuk hidup hanya bersama sang bapak tercinta. Ya, balita perempuan itulah anakku, Nabila Kesya namanya. Adinda, ananda merindukanmu.

Didedikasikan kepada Kesya, balita yang merindukan ibundanya… “Ibunda, kapan pulang?”


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Kaulah, Sahabat...

“Sahabat, kaulah puisi yang tak selesai digerus diksi!”


oleh Dwi Endah Septyani


“Aku pesan dua buah puisi untuk ucapan ulang tahun adikku besok! Penting. Jika tidak, dia akan marah padaku.”
Masih terdengar jelas kata-katanya yang memekik telingaku kemarin siang. Ya, lagi-lagi dia menuntutku untuk membuat puisi. Ah, entahlah. Kejadian ini sudah hampir seratus kali terjadi. Lelaki itu, Arjuna namanya. Aku mengenalnya sebagai sosok yang berkepribadian unik dan sangat menarik. Bahkan, sampai saat ini aku belum punya jawaban atas pertanyaan, “Hei, sobat! Kau kemanakan puisi-puisi buatanku yang kaupesan?”
Namaku Dewa, penyair kamar yang malu mengungkapkan buah tinta. Akulah, lelaki pendiam dan bersahabat dengan hujan, puisi, dan tentu saja Arjuna. Aku tidak tahu harus minum pil apa supaya aku percaya diri ‘memamerkan’ kelihaianku menggoyangkan pena di atas kertas. Aku tak pernah punya cukup keberanian untuk itu. Aku takut. Aku trauma.
Bermula saat pelajaran bahasa Indonesia di bangku kelas dua SMP, Pak Sastra menugaskan kami membuat sebuah puisi tentang persahabatan. Aku bahagia setengah mati. Sayang, dalam perjalanan pulang hujan deras. Tapi, kata-kata terus berloncatan di kepalaku. Kupaksakan berhenti. Tapi tak ada tempat berteduh. Enyahlah! Aku harus menuliskannya. Kukeluarkan sebuah buku saku bersampul biru, juga sebatang pena. Kutuliskan, kuberanikan menulis di bawah deras hujan.
Cukup satu kalimat:
Sahabat, kaulah puisi yang tak selesai digerus diksi!
Hujan berhenti. Kugoyangkan ujung pena. Ajaib. Seketika itu, kepalaku kosong. Tak ada lagi irama tentang puisi. Semuanya jadi hitam. Terpaksa kuhentikan niatku melanjutkan puisi. Itulah kali pertama aku merasakan adanya daya magis dalam puisi dan hujan. Aku merasakan kedamaian di dalamnya.
***
Keesokan harinya dalam pelajaran bahasa Indonesia.
“Baik, anak-anak. Ayo kumpulkan puisinya,” seru Pak Sastra mengawali pelajaran.”
Huh, setelah bertahun-tahun aku baru sadar ternyata tidak ada sastra dalam bahasa Indonesia. Ironis. Seharusnya, dalam jadwal mata pelajaran dituliskan “bahasa dan sastra Indonesia.” Ya, akhirnya aku cukup mengerti alasan mengapa Pak Sastra begitu horor jika mengajar. Mungkin, beliau sedikit tersinggung karena namanya tidak pernah disinggung. Sahabatku, Arjuna, pun sepakat dengan hipotesisku ini. Hipotesis yang sangat tidak ilmiah memang.
Pak Sastra merapikan tumpukan kertas berisi puisi hasil karya kami. Aku deg-degan. Super deg-degan. Arjuna, yang duduk di sebelahku melihatku sambil tersenyum kecil. Tepatnya sih meledek. Dia hafal benar, aku, sahabatnya, hampir tidak pernah sanggup bertahan dalam situasi seperti itu. Keringat dingin mulai bercucuran, jariku bergeletar, kakiku menggoyang-goyangkan kaki meja. Lagi-lagi, Arjunalah yang paling iseng meledekku. Mungkin pikirannya sedang berkata, “Duhai Bapak Guru, sahabatku Dewa, penyair kamar itu sedang berjuang mengendalikan keringat dingin dari pori-pori kulitnya sebelum kemudian akhirnya membeku!”
“Baik, nama yang Bapak sebutkan silakan maju membacakan hasil karyanya,” kata Pak Sastra yang semakin membuat telingaku semakin bergidik. Aku takut.
Aku Dewa, lelaki pendiam dan pengecut, yang tak pernah punya cukup keberanian untuk tampil ke depan. Hfff…dalam hati aku bermantera, “Ya Allah, selamatkan aku, selamatkan aku, selamatkan aku”
“Dewanda Arya, maju dan bacakan hasil karyamu!” suaranya memecah keheningan kelas. Terkejut. Semuanya hampir tak tampak di mataku. Degup jantungku semakin cepat dan keras. Andai Arjuna mampu mendengarnya, ia pasti membantu menyelamatkanku.
“Semangat Dewa, kamu pasti bisa!” Arjuna menyemangatiku dengan suara yang berat. Aku tahu dia khawatir terhadapku. Aku masih diam. Langkahku berat dan seperti belum sadar kalau ternyata aku telah memegang secarik kertas yang akan kubaca tulisannya.
“Sahabat, buat tinta Dewanda Arya.”
Tepuk tangan teman-teman bergemuruh. Semakin membuatku hampir tak sadarkan diri. Tapi, kulihat salah satu dari mereka tampak tenang dan tetap tersenyum. Terlihat sama sekali tidak tegang. Ialah Arjuna.
Arjunalah, satu-satunya sahabatku, bahkan satu-satunya temanku yang memanggilku “penyair kamar.” Ia juga paham, aku suka sekali menulis puisi di bawah hujan. Dan inilah kali pertama aku membacakan karyaku di depan umum. Ah, Arjuna, bagikan rasa percaya dirimu sedikit saja!
Aku fokus pada kertas yang ikut bergetar di tangan. Berusaha menguasai keadaan dan menyimpan wajah Arjuna yang tetap tenang.
“Sahabat, kaulah puisi yang tak selesai digerus diksi.”
Dalam hati aku berkata, Yeah! Arjuna, aku berhasil membacakan karyaku. Hmm, namun teman-teman tetap diam. Seperti menungguku membacakan kalimat selanjutnya. Aku tahu, mungkin teman-teman bingung dengan puisi buatanku.
Sekejap kemudian Arjuna memandu teman-teman bertepuk tangan. Utamanya, ingin memberitahu bahwa puisiku hanya sebaris kalimat itu. Tidak lebih. Tepuk tangan bergemuruh untuk kedua kalinya. Meskipun, aku tidak tahu apa arti tepuk tangan itu. Entahlah, yang penting aku telah menggugurkan kewajibanku membaca puisi.
Lagi-lagi, panggilan Pak Sastra membuatku terkejut.
“Dewa, itu puisi karya siapa?”
“Karya saya, Pak,” jawabku sekenanya.
“Kamu jujur itu karyamu?” beliau kembali bertanya.
“Iya, Pak. Saya jujur. Saya menulisnya kemarin sepulang sekolah, Pak.”
Seseorang yang kukenal sekali suaranya ikut pula masuk dalam perbincangan kami. Arjuna angkat bicara.
“Iya, Pak. Puisi itu benar-benar hasil karya Dewa. Dia bukan plagiator, Pak! Saya punya bukti kalau puisi itu memang tulisan Dewa,” Arjuna membelaku. Padahal, aku sendiri malas berdebat dengan orang lain, sekalipun puisi itu memang nyatanya karyaku. Terlebih berdebat dengan Pak Guru, ah aku tidak suka.
“Coba, barang buktinya tunjukkan kepada Bapak!” Pak Sastra masih saja ingin memenangkan perdebatan ini.
Aku justru santai. Tidak sedikit pun berharap aku memenangkan perdebatan ini. Meskipun aku tahu, betapa marahnya Pak Sastra jika siswanya berplagiat ria. Dan hukumannya adalah tidak mendapatkan nilai dalam kegiatan pelajaran kali itu. Ah, apapun itu. Aku tidak peduli. Aku sudah cukup bahagia membuahkan karya, meskipun mereka tidak pernah mau mengakuinya. Kecuali Arjuna. Aku juga tidak peduli dengan apa perkataan orang lain tentang aku dan puisiku, yang jelas aku selalu bahagia ketika mampu mengolah kata hingga meramunya jadi puisi yang bermakna. Apalagi jika hujan tiba. Imajiku bertambah melesat-lesat dan majasku berhamburan ke sana kemari.
Arjuna mengobrak-abrik isi tasnya, mencari barang bukti yang hendak ditunjukkan kepada Pak Sastra. Aku tetap diam. Bahkan tidak tahu, barang apa yang sedang dicari Arjuna. Aku menghampirinya.
“Apa yang kamu cari, Arjun?”
“Benda yang akan menyelamatkanmu dari keadaan ini.”
“Sudahlah, Jun, aku ikhlas kalau Pak Sastra berbuat ini padaku,” jawabku dengan suara yang pelan, khawatir kalau-kalau Pak Sastra mendengarnya.
“Ah, kenapa tidak ada! Semalam aku melihatnya.”
“Lupakan saja, Arjun. Aku akan baik-baik saja. Tenanglah.”
Arjuna, sahabatku masih sibuk mencari benda yang entah berwujud apa. Aku sendiri, yang menulis puisi itu tidak tahu apakah ia benar-benar punya bukti. Aku benar-benar lupa. Benar kata Arjuna di siang itu, katanya aku ini selain pemalu juga pelupa! Hilangkan sakitmu itu, mau jadi apa kau kalau begini terus. Hmm, aku hanya tersenyum malu. Lagi-lagi, aku baru sadar dan selalu diingatkan untuk sadar. Ya ya, aku pemalu dan pelupa. Katro ah!
“Mana Arjuna? Kamu tidak punya bukti kan?” Pak Sastra mulai mengisyaratkan bahwa beliau memenangkan “pertandingan” kali ini.
“Emmm, emm, maaf Pak, padahal semalam saya menyimpannya di dalam tas,” Arjuna tetap bersikeras membelaku. Arjuna, sahabatku, memang pemberani.
“Baik, anak-anak, pelajaran kali ini sempurna dihabiskan hanya untuk mencari barang bukti. Bapak tegaskan sekali lagi, bahwa Dewanda Arya telah memplagiat puisi seorang penyair. Maka dari itu, diputuskan, Dewanda tidak mendapatkan nilai alias nol dalam pelajaran menulis puisi!” katanya dengan tegas.
Anehnya, aku tidak sama sekali merasa tereksekusi dan kalah dalam pertandingan. Aku malas berdebat atau hanya sekadar bertanya, “dari mana Bapak tahu kalau puisi saya adalah hasil plagiat? jika iya, penyair siapakah itu yang memiliki pikiran yang sama dengan saya!”
Ya sudahlah, meskipun begitu, aku mengambil hikmah dari kejadian ini. Arjuna, yang dengan sekuat upaya membebaskanku dari ‘cengkeraman’ Pak Sastra. Atau bahkan, jangan-jangan ini pertanda bahwa suatu hari nanti puisiku mengubah statusku dari ‘penyair kamar’ menjadi ‘penyair tenar’. Walaupun memang, perlu tempel sana tempel sini untuk mengubahku menjadi sosok pemberani seperti Arjuna.
***
Di pojok sekolah, depan mading, pagi-pagi sebelum bel masuk berbunyi.    
“Ih, keren…!” ucap salah satu siswa terkagum-kagum.
“Wuish, siapa dulu dong, sahabat gue nih. Keren kan?” balas Arjuna.
Sebuah pengumuman tertempel di mading sekolah: Selamat kepada Dewanda Arya, Juara 1 Lomba Menulis Puisi Siswa Tingkat Nasional.
Ketika itu, Dewa sudah di dalam kelas, menunggu Arjun sambil menulis puisi pesanan Arjun yang sedikit mengancam itu. Teman-teman sekelas berhamburan menyalami dan mengucapkan selamat padanya. Dewa tidak mengerti maksud mereka. Ia merasa tidak sedang mengalami kesuksesan apa pun. Yang, ia tahu, saat itu bertepatan sekali dengan hujan. Dan seketika itu pula imajinya tumpah melimpah ruah. Sebuah prestasi menghampirinya dan dijemput diam-diam oleh sahabatnya, Arjuna.
“Selamat, sahabat! Kamu telah memenangkan lomba menulis puisi siswa SMP tingkat nasional!” kata Arjuna dengan sumringah. “Kamu hebat, penyair kamar! Kamu hebat!” tambahnya.
Aku mengernyitkan dahi karena tidak mengerti. Aku sama sekali tidak pernah merasa mengikuti lomba apa pun. Toh, aku sudah bahagia ketika telah menyelesaikan puisi meski hanya sekadar ditempelkan di dinding kamar. Atau hanya sekadar memenuhi pesanan Arjuna, pesanan yang aneh: membuatkannya puisi yang bahkan aku tidak tahu ke mana perginya puisi-puisi itu.
Hah! Arjuna menafsirkan tanyaku barusan.
“Puisimu kutinggalkan di kotak-kotak lomba. Maaf, aku tidak mengatakannya padamu. Dan salah satu puisimu yang katanya hasil plagiat itu, berhasil lolos menjadi juara. Selamat! Pengumuman lomba-lomba menulis puisi yang lain akan segera menyusul beberapa hari ini. Dan aku yakin kamu memenangkannya. Kamu penyair hebat, sobat!”
Aku terharu dibuatnya, aku menepuk pundaknya agak keras. Agak terbahak, kukatakan padanya, “Sahabat, kaulah puisi yang tak selesai digerus diksi!”
Tawa kami pun lepas satu-persatu. Lagi-lagi dia mengatakan untuk kesekian kalinya, “Dasar, penyair kamar! Kamu hebat!”
Begitulah persahabatan kami terjalin indah. Arjuna memapahku dari jalan kegelapan dan kesunyian. Saling menopang, saling menasihati di kala alpa dan salah. Membangkitkanmu dari tidur dan istirahat yang terlalu lama meskipun hanya untuk sekadar mengatakan, “kita harus berjalan terus!” Yang dalam diam, ternyata ia juga mencari jalan kesuksesan untuk sahabatnya.



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Antologi Selaksa Makna Ramadhan


Judul : Selaksa Makna Ramadhan
Penulis : Dang Aji, Tridju Pranowo, dkk
Tebal : iv + 291 hlm




Harga : Rp 56.400,-

Sinopsis:Begitu beragam inspirasi yang bisa dimaknai dalam bulan suci Ramadhan. Sebuah bulan mulia yang sengaja Allah turunkan bagi keberkahan seluruh umat islam di atas bumi. Inspirasi-inspirasi itu coba dibagi oleh para penulis dalam buku sederhana ini. Buku ini berisi 200 kisah sarat makna dari 425 naskah yang masuk dalam even Lomba Menulis yang didukung oleh Group Untuk Sahabat dan Blog Cerpen Tiga Tujuh.Selain itu, terdapat pula 11 cerita komedi pilihan yang dirangkum dari kisah seputar Hari Raya Qurban.Cerita menarik yang diracik dengan apik dalam menyampaikan pesan religius melalui seekor kambing qurban. Kisah-kisah inspiratif dalam buku ini dapat menjadi pilihan bacaan yang segar dalam memaknai hadirnya setiap momen spiritual yang kian melengkapi hidup kita menuju indahnya jalan Illahi.


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Antologi Kulepaskan Kau dari Hatiku...

Kumpulan 63 tulisan dari orang-orang yang (katanya) berani meleburkan isi hati, bahwa cinta harus ditempatkan di ruang yang tepat, bagi sesiapa yang layak memenuhinya... #anti sakit hati, baca yang ini, karena jodoh takkan ke mana...



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Antologi Ibuku Adalah...

Ditulis ketika Hari Ibu, 22 Desember 2010 lalu untuk ikut lomba di salah satu grup facebook (UNSA). Tulisan kedua untuk Mama, setelah yang pertama menulis hanya untuk memenuhi tugas mata kuliah Retorika. Dan yang ini, diterbitkan di Leutika Prio. Teman-teman yang ingin membeli, bisa pesan melalui saya lho.




Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Antologi Puisi Festival Bulan Purnama


Komentar mengejutkan di awal tahun 2011 mampir di status facebook saya, "Kan bukunya udah diterbitin, puisimu ada di halaman sekian..." Saya tersentak, masa' iya? Ternyata benar, berawal dari iseng-iseng kirim dua puisi berjudul Antara Aku, Puisi, dan Pak Guru, dan Buku Biru Berdebu, ke Dewan Kesenian Mojokerto 2010 lalu, mendapatkan tempat juga di dua halamannya. Huwaaa... Bahagia sih bisa bersama-sama mejeng dengan penyair sekelas Ahmadun Yosi Herfanda, tapi ya mencoba tetap biasa-biasa saja, itu belum ada apa-apanya. Lagipula kapan juga menjadi ada apa-apanya. Haha... Ibarat salat berjamaah, buku antologi itu punya makmum yang luar biasa banyak, wedeh... :)







Buku tebal, cukup unik untuk pengganjal pintu.. Astagfirullah, jangan deh... ^^





Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Koran Radar

Ada yang iseng, supaya numpang mampir ke sana... halaah.. ^^


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Kenangan PPL

Tulisan bulan November 2010 lalu...


Aku gak sangka kalau hari ini begitu biru. Benar kata Kak Cahaya (tokoh dalam bayi novelet kami; aku dan Ayu), “tidak ada yang kita punya selain kehilangan.” Hmm, hari ini hari terakhir PPL di SMA itu. Hari sepertinya malas menjemput siang, pukul 13.30 terasa lamaaa sekali. Biasanya sih, sambil menunggu aku beli es krim di kantin kejujuran, huh tapi belum buka euy... (gagal deh ke surga dunia...).

Eitts, udah bel... Kubawa segala perlengkapan buat mengajar: buku cetak, berkas-berkas penilaian, tempat pensil, tiga gulung karton buat media, lakban, double tip, gunting, gergaji, amplas... (wkwk, tapi bohong...). Masuk kelas, para siswa masih mencatat pelajaran sebelumnya. Ini masih mendingan, biasanya mereka nyeletuk, “Yaelah Bu, masuknya cepet amat... Emang udah bel?” Wewew...

Proses KBM berjalan seperti biasa. Aku berteriak-teriak gak jelas, beneran deh makin ke sini mereka makin hobi ngobrol. Apalagi siswa laki-laki, kok ya mirip banget kayak transaksi di Pasar Jongkok. Hauuuus banget rasanya deh kalau lagi kayak gitu. Gak kebayang gimana rasanya jadi guru yang ngajar banyak jam per harinya. Subhanallah, semoga jadi berkah.

Hari ini, kami belajar menulis resensi. Seru, mereka bawa satu buah buku yang pernah selesai dibaca. Tapi masih aja ada yang gak bawa. Alhasil, mereka kusuruh meresensi buku pelajaran. Hihi, emang enak!!! Rasakan... J

Menjelang bel pulang.
Aku merasakan hampir tidak ada yang istimewa. Ah, kenapa mereka diam saja? Gak tau apa kalau hari ini aku terakhir mengajar mereka? *Suudzon mode: ON, (jangan ditiru).
“Ayo, buang sampah yang ada di bawah kalian!... Kalau sudah, cepat disiapkan. Mau pulang kan?” Tapi kok rasanya ada yang beda ya, biasanya setelah bel pulang, tanpa diminta, mereka langsung berkemas. Dan ternyata...

Asa, salah satu siswaku maju... Ups, sebenernya sih lebih pantes kupanggil Adik. Katanya,“Kak, ini kenang-kenangan dari kita, XI IPA 3...” Dalam hati, “Jiaah, ni anak masih juga manggil gue Kakak, Ibu kaleee... celingak-celinguk, untung gak ada dosen (emang dosennya gak dateng), abis nih kalau ketahuan dia manggil Kakak.”

Dia membacakan tulisan itu. (Tunggu, aku ambil dulu kertasnya di dalam tas, lupa sih J stay tune ya...)
“Terima kasih Ibu Endah, We love you. See you next time, don’t forget us! XI IPA 3.”
Wow!!!! Jadi terharu. Aku gak bisa menyembunyikan perasaan. Si melankolis untung gak keterlaluan, jadi gak keluar deh tuh makhluk asin bernama air mata. Meski ada siswa yang nyeletuk, “Wah, ibunya nangis!” Jaim gitu deh ceritanya, “Kalian kali yang nangis, wkwk...”

I’m spechless...
Setelah itu, Asa bilang, “Kak, Diga mau kasih lagu buat Kakak.” Seketika Asa duduk, Aldiga berdiri di tempatnya. Gayanya, mirip banget kayak vokalis band gitu. Siswa yang lain duduk manis menonton aksi yang entah mereka rancang atau gak, sementara Bu Nur, guru pamongku, terdiam sambil senyum (mungkin sambil inget2 masa muda dulu, hihi...). Salam hangat buat Ibu, hangaaat sekali, peace ahh...

Kemesraan ini janganlah cepat berlalu...
Kemesraan ini ingin kukenang selalu...
Hatiku damai, jiwaku tenteram di sampingmu...
Hatiku damai, jiwaku tenteram bersamamu...
Arrrghhh!!! So sweeeet... Akhirnya, lagu itu tumpah ke lantai. Eh, salah, tumpah ke seantero ruang kelas ber-AC. Dinginnya kontras sekali dengan suasana perpisahan kami yang begitu hangat. Apalah arti pertemuan kalau tidak ada perpisahan. Aku belajar banyak dari banyak kejadian. Subhanallah, indahnya menjadi guru... Makin gak asing sama ‘ikrar’ diri sendiri, emang enak kemakan kata-kata, “Ihhh, amit-amit deh gue jadi guru!” Ya Allah terima kasih atas semuanya.... J

Pulang dari sekolah, pengen banget cepat-cepat sampai di rumah. Ceritanya pengen pamer sama Emak Babeh, yang belum percaya kalau anaknya jadi guru, “Makanya, kalau lagi ngajar difoto, Bapak mau lihat...” Oh nooo, gubrak !?%$#%^^

AKU INGIN
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu
kepada api yang menjadikannya abu


Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan
kepada hujan yang menjadikannya tiada

(Sapardi Djoko Damono)


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Rabu, 27 April 2011

Kelapa Gading

Bismillahirrahmanirrahim...

27 April 2011 16.42 Masjid Ad Da'wah Kelapa Gading Jakarta Utara,
menunggu pukul 17.00 WIB

Hmm... alhamdulillah, akhirnya hari ini belajar menonaktifkan akun facebook, lumayan, jadi gak perlu repot-repot menyapu "halaman rumah" itu. Mampir juga ke blog akhirnya. ^^

Selesai isi mentoring siang tadi, lapar juga, ditambah dengan kondisi badan yang kurang sehat, My Sob sms, yowis jadilah kami ngedate berduaan di blok M (baca: kantin kampus yang letaknya dekat gedung M, keren kan...) Makan soto, yummmyyy enak banget (apa sih yang gak enak di lidah gue, haha, *nyengir).

Makan selesai, mampir ke ICA (musalanya FIS), salat deh (cuma nganter doang padahal). Weits, udahan deh sesi kampusnya, langsung capcuss nyebrang dan kami bergegas mencari nafkah, memungut kepingan rupiah demi masa depan yang lebih cerah. Wedeh, bahasanya... (udah lama gak nulis puisi). My Sob naik metromini 47, aku menanti "jemputan" ber-AC, yang lamaan nunggunya daripada naiknya. Siiiip, berharap lama datangnya, eh ternyata tumben cepat banget tuh bus datang! Hah, emang bener, "Allah tidak selalu memberikan apa yang kita inginkan. Ada rahasia di balik rahasia, nanti kau akan mengetahuinya! (Islam KTP mode: ON)". Yuphee, ternyata, sempat juga ngeblog di masjid ini. Cheers...

Naik P84, di perempatan Kelapa Gading, lampu merah, di inilah seninya kehidupan. Seorang ibu dengan daster belelnya plus kemoceng andalannya mengelap jendela depan mobil. Seketika si empunya mobil, menunjukkan lima jari kanannya dengan tegas. Hmm, apakah artinya? Artinya? zzzzz... tau sendirilah..

Kedua, seorang tunanetra yang meraba udara, menjajakan air mineral botol. Subhanallah, cara yang keren untuk menyambung hidup. Kontras banget sama mas-mas di metromini atau mikrolet yang ngakunya anak jalanan. Duh, boy... lo udah tua kali! Malu itu sama yang tunanetra tapi kenal sama yang namanya ikhtiar! (jadi panas gini...)

Pemandangan yang terakhir, manusia kocak muncul (baca: bencong). Entah, gak tau kenapa tiba-tiba aku senyum sendiri. Gimana nggak, coba! Ngerti-ngertian dia sama Justin Bieber, oh dunia!!! Makin aneh aja. Yang lucunya lagi, di antara pengendara motor, ada yang tiba-tiba teriak. Hah, dia takut kayaknya sama bencong. Dan aku pun makin tertawa sendiri. Hiburan yang aneh di hari ini...

(catatan yang aneh ^^)


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Senin, 25 April 2011

and The Reason is YOU…

Ulasan singkat berikut merupakan intisari dari artikel berjudul Berjuang dengan Ikhlas
yang ditulis oleh Mochamad Bugi

Ada sebuah cerita yang menggetarkan kita semua, selamat menyimak!

Syadad bin Al-Hadi mengatakan, seorang Arab gunung datang kepada Rasulullah saw. lalu beriman dan mengikutinya. Orang itu mengatakan, “Aku akan berhijrah bersamamu.” Maka Rasulullah saw. menitipkan orang itu kepada para sahabatnya.

Saat terjadi Perang Khaibar, Rasulullah saw. memperoleh ghanimah (rampasan perang). Lalu beliau membagi-bagikannya dan menyisihkan bagian untuk orang itu seraya menyerahkannya kepada para sahabat. Orang itu biasa menggembalakan binatang ternak mereka. Ketika ia datang, para sahabat menyerahkan jatahnya itu. Orang itu mengatakan, “Apa ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah bagianmu yang dijatahkan oleh Rasulullah saw.”

Orang itu mengatakan lagi, “Aku mengikutimu bukan karena ingin mendapatkan bagian seperti ini. Aku mengikutimu semata-mata karena aku ingin tertusuk dengan anak panah di sini (sambil menunjuk tenggorokannya), lalu aku mati lalu masuk surga.”

Rasulullah saw. mengatakan, “Jika kamu jujur kepada Allah, maka Dia akan meluluskan keinginanmu.” Lalu mereka berangkat untuk memerangi musuh. Para sahabat datang dengan membopong orang itu dalam keadaan tertusuk panah di bagian tubuh yang ditunjuknya.

Rasulullah saw. mengatakan, “Inikah orang itu?” Mereka menjawab, “Ya.” Rasulullah saw. berujar, “Ia telah jujur kepada Allah, maka Allah meluluskan keinginannya.” Lalu Rasulullah saw. mengafaninya dengan jubah beliau kemudian menshalatinya.

Dan di antara doa yang terdengar dalam shalatnya itu adalah: “Allaahumma haadza ‘abduka kharaja muhaajiran fii sabiilika faqutila syahiidan wa ana syahidun ‘alaihi” (Ya Allah, ini adalah hamba-Mu. Dia keluar dalam rangka berhijrah di jalan-Mu, lalu ia terbunuh sebagai syahid dan aku menjadi saksi atasnya).” (Diriwayatkan oleh An-Nasai)

Subhanallah, segala alasan adalah Dia, Allah! Sudahkah kita begitu? Ya, rasa-rasanya jauuuh sekali. Ketika ada yang mampir ke hati kita selain keikhlasan, kita perlu memahami bahwa
1.   Allah mengawasi, mengetahui, mendengar, melihat kita. (Al-An’am (6): 3, Ali Imran (3): 29).
2.   Orang yang riya (ingin dilihat orang) atau sum’ah (ingin didengar orang) dalam beramal akan dibongkar oleh Allah semenjak di dunia sebelum di akhirat. Dan mereka tidak mendapatkan bagian dari amal mereka selain dari apa yang dinginkannya. Rasulullah saw. bersabda, “Siapa yang ingin (amalnya) didengar orang, maka Allah akan membuatnya didengar; dan siapa yang ingin (amalnya) dilihat orang, maka Allah akan membuatnya dilihat orang.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim)
3.   Kekalahan yang diderita kaum Muslimin dewasa ini adalah akibat ulah kita sendiri. (Yunus (10): 44).
4.   Ketidakikhlasan menghancurkan amal, besar maupun kecil. (Thaha (20): 111, Al-Furqan (25): 23).
5.   Orang-orang yang beramal bukan karena Allah adalah orang yang pertama dibakar untuk menyalakan neraka.
6.   Orang-orang yang riya akan menjadi teman setan pada hari kiamat di dalam neraka jahanam.




Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Minggu, 24 April 2011

Ngobrol Bareng Taufiq Ismail*

Bagaimana kabar Bapak?
Alhamdulillah baik.

Kemarin Bapak dari Padang Panjang ya, kalau boleh kami tahu ada acara apa di sana?
Di sana ada acara Diskusi Seputar Kesusastraan Indonesia.

Apa jenis karya sastra pertama Bapak dan kapan Bapak menciptakannya?
Karya sastra pertama saya adalah gurindam. Saya menciptakan gurindam tersebut saat berusia tujuh tahun tepatnya kelas dua SR (Sekolah Rakyat) di Semarang. Ketika itu tahun 1947, masih zaman penjajahan Jepang.

Apakah tulisan tersebut dimuat di surat kabar?
Ya, namanya surat kabar Sinar Baroe di Semarang.

Berarti, ketika Bapak berusia tujuh tahun, Bapak dan orang tua tinggal di Semarang? Bukankah Bapak dilahirkan di Bukittinggi?
Ya, saya memang lahir di Bukittinggi. Jadi begini ceritanya, ayah saya (KH Abdul Gaffar Ismail) adalah tamatan dari sekolah Parabek Bukittinggi sedangkan ibu (Timur M Nur) tamatan sekolah Diniyah Putri Padang Panjang. Ketika tamat sekolah mereka aktif di bidang politik dalam suatu partai yang dinamakan Permi, yang tidak disukai Belanda. Empat orang pendiri partai tersebut, termasuk ayah saya dihukum oleh Belanda dengan cara dibuang. Para pimpinannya tersebut diantaranya Mochtar Lutfi, Ilyas Yakub, Jalaludin Thaib, dan ayah saya, Abdul Gaffar. Mereka, kecuali ayah saya, dibuang ke Digul. Ayah saya dibuang keluar Minangkabau dan boleh memilih tempat. Beliau memilih ke Pekalongan lalu pindah ke Semarang. Di Semaranglah saya menghabiskan masa kanak-kanak, namun ketika SMP saya kembali ke Bukittinggi, dan kembali lagi ke tanah Jawa tepatnya Pekalongan untuk melanjutkan Sekolah Menengah Atas.

Apa yang memotivasi Bapak ketika menulis pertama kali?
Kedua orang tua saya adalah guru, namun kemudian berganti profesi menjadi wartawan surat kabar Sinar Baroe yang terbit siang hari. Setiap pulang dari kantor ayah saya selalu membawa Sinar Baroe, di sanalah ada nama ayah saya. Ya, pada awalnya, sebagai seorang anak berusia tujuh tahun saya berpikir betapa bangganya jika nama saya ada di surat kabar seperti ayah. Nah, karena rasa bangga itulah keinginan saya untuk meniru ayah semakin kuat. Lantas, dalam usia yang cukup kecil saya terus dibimbing ayah untuk menulis. Akhirnya tulisan saya berupa gurindam itu dimuat di Sinar Baroe, mungkin karena ayah juga menjabat sebagai wakil redaksi saat itu (Bapak Taufiq Ismail menjawab sambil tersenyum).

Jenis tulisan seperti apa yang sering Bapak buat ketika masih kanak-kanak?
Tentu saja yang paling mudah bagi anak-anak, misalnya pantun-pantun, gurindam-gurindam.

Apakah ayah Bapak juga membimbing anak-anak yang lain?
Ya, tentu saja. Mereka tidak hanya meniru ayah, tetapi juga saya, kakaknya.

Nah, kalau begitu bisa saya tarik sedikit kesimpulan bahwa ayah Bapak mewariskan keterampilan menulis pada anak-anaknya?
Bisa dibilang seperti itu.Tetapi, yang paling kental yang diwariskan orang tua kami adalah budaya membaca. Ketika berusia tujuh tahun pun, saya sudah bisa melihat bahwa saya suka sekali membaca buku. Saya suka buku apa saja, meskipun yang ada di rumah kebanyakan adalah buku bahasa Indonesia dan bahasa Arab. Setiap bulan saya diajak ayah ke toko buku. Lingkungan keluarga yang gemar membaca itulah yang membentuk kebiasaan dan kecintaan saya terhadap buku. Misalnya, setiap malam setelah semua pekerjaan selesai (sudah makan malam, salat), orang tua saya langsung membuka buku.

Lalu, bagaimana kaitan antara membaca dengan menulis?
Membaca dengan menulis sangat berkaitan erat. Saya sekolah di SMP 1 Bukittinggi, di sana tidak ada perpustakaan sehingga saya harus berjalan ke depan jalan sekolah yang hanya berjarak 500 meter dari sekolah. Di sanalah saya menjadi anggota perpustakaan. Namun, untungnya, ketika di SMA Pekalongan, di sana telah ada perpustakaan. Saya pun menjadi anggotanya. Di sana, di samping saya membaca, saya juga lebih sering menulis karena saya semakin termotivasi.

Mengapa Bapak mengatakan kalau Bapak semakin termotivasi? Bisa dijelaskan?
Pada saat SMA, saya semakin termotivasi untuk menulis karena banyak teman-teman yang juga hobi menulis. Jadi, kami berlomba-lomba untuk mengirimkan tulisan tersebut ke media massa.

Ke mana saja tulisan itu Bapak dan teman-teman Bapak kirim?
Karena kami di Pekalongan dan ingin mengirimnya ke tempat yang lebih baik, tentu saja kami mengirimkannya ke media massa yang ada di Jakarta. Ketika itu, kami siswa SMA Pekalongan yang senang mengirim tulisan ke media massa berjumlah lima orang, diantaranya M. Jalaludin, Hadi Utomo (cerpen), Sukanto (puisi), S.N. Ratmana (cerpen), dan saya (puisi).
Apakah Bapak ingat, siapa penulis besar Indonesia yang sama-sama menulis ketika itu?
Di Jakarta ada Ajip Rosidi dan S.M. Ardan, di Semarang ada N.H. Dini, W.S. Rendra di Solo dan Motinggo Boesye di Bukittinggi. Saat itu, mereka juga masih SMA.

Sebenarnya ada apa? Mengapa perkembangan sastra saat itu berkembang bersamaan hampir di seluruh nusantara? Atau hanya karena perintah guru?
Tidak, semua itu bukan karena perintah guru, melainkan berangkat dari inisiatif kami. Ketika di perpustakaan, kami mengenal buku, majalah, maupun media massa lainnya. Di dalamnya, terdapat ruangan sastra. Jadi, kami aktif di sana. Sebagai awalan, kami mengirimkan tulisan ke Suara Merdeka Semarang karena tidak cepat menunggu tulisan untuk dimuat di media massa Jakarta. Tulisan saya saja membutuhkan waktu dua tahun untuk dapat dimuat di media massa Jakarta. Ya… jadi harus sabar menunggu, jangan putus asa.

Pada saat SMA, apakah Bapak pernah memiliki impian untuk menjadi salah seorang pendiri Majalah Sastra Horison?
Tidak, impian itu tidak pernah terpikir oleh saya. Waktu itu saya hanya ingin menulis, menulis, dan menulis.

Apakah menurut Bapak, menulis itu dapat dijadikan sebagai hobi atau dapat juga sebagai sumber penghasilan?
Sewaktu SMA saya dan teman-teman mulai berpikir bahwa hidup sebagai sastrawan untuk mendapat nafkah dari karya sastra tidaklah mudah. Kami berpikir bagaimana kalau nanti melanjutkan sekolah dan masuk jurusan sastra. Ternyata kami dapat informasi bahwa itu tidak mudah. Menurut saya, wartawan adalah profesi yang sangat cocok untuk orang yang hobi menulis. Selain mempunyai penghasilan tetap sebagai wartawan, juga tetap bisa menyalurkan hobinya sebab proses kreatifnya tidak akan berhenti.

Bagaimana proses penciptaan karya sastra yang Bapak alami?
Ketika kecil, saya menciptakan karya sastra hanya sebatas menuliskan pengalaman pribadi, pengalaman seorang anak-anak. Namun, ketika sudah mulai matang dalam menulis, misalnya dalam Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Benteng, dan Tirani, saya mulai memasukkannya ke dalam dunia luar yang lebih luas, misalnya pendidikan, politik, dsb.

Menurut Bapak, apa saja sumber-sumber penciptaan karya sastra?
Dalam menulis memang harus ada sumbernya, yang sering kita sebut sebagai inspirasi. Sumber yang pertama adalah bacaan. Dengan membaca, seorang sastrawan akan mempunyai sumber yang kaya ibarat sumur yang ditimba atau digali. Jadi, harus banyak membaca. Yang kedua adalah pengalaman hidup. Orang yang semakin bertambah usianya akan semakin banyak pengalamannya dalam hidup. Sumber yang ketiga adalah melakukan perjalanan, mengunjungi daerah atau negeri lain. Akan tetapi, tidak hanya sekadar berkunjung, tetapi juga harus memasang mata, telinga, dan baca sejarahnya, kemudian temuilah orang-orang untuk berdiskusi. Dan sumber yang keempat adalah ikut berdiskusi, konferensi, dan seminar-seminar. Diskusi-diskusi saat ini bisa kita lihat di televisi.

Apakah perkembangan zaman turut mempengaruhi dunia kesusastraan Indonesia?
Tentu, tentu saja. Seperti karya sastra sekarang yang cenderung berbau pornografi. Nah, kita ini sekarang masih dalam tahap itu. Tetapi, memang apa boleh buat? Itu terpaksa harus dilalui.

Nah, menurut Bapak, sebagai mahasiswa, bagaimana kami harus menyikapi karya-karya sestra yang berbau pornografi saat membaca, misalnya membaca karya Ayu Utami (Saman)?
Ya, itu harus disikapi dengan matang, karena Ayu Utami itu adalah sebuah produk dari zaman yang sakit. Mahasiswa sebagai penggerak sebaiknya mengikuti organisasi kampus, suka berdiskusi, agar bisa mempersenjatai dalam menghadapi masyarakat dari zaman yang sakit.

Maksud Bapak?
Ya, zaman ini kan sakit. Coba kita lihat sekarang bahwa nilai-nilai yang ada dalam masyarakat saat ini banyak yang kikis seperti nilai keimanan, kesopanan, rasa tanggung jawab, dan rasa malu.

Sebenarnya menurut Bapak, mengapa hal ini bisa terjadi?
Jadi begini, puncaknya tahun 1999 mulai terjadi perubahan politik yang begitu besar, sesudah tujuh tahun masa represi orde lama, 32 tahun orde baru, jadi semua 39 tahun. Pada 1-3 tahun pertama masa orde baru pengekangan sangat terasa di Indonesia sehingga akhirnya setelah 39 tahun kita dikekang, kita merasakan perubahan besar-besaran karena kebebasan ekspresi menjadi sangat leluasa. Misalnya, pers tidak perlu lagi mengurus SIUPP (Surat Izin Untuk Penerbitan Pers) jika ingin terbit. Orang juga bebas mengkritik bahkan sampai mencaci-maki, kemudian juga boleh mendirian partai sesukanya. Nah, semua itu diikuti pula oleh kebebasan menulis, baik pers, dalam iklan-iklan, maupun internet. Dan internet belakangan menyebabkan kebebasan yang menurut saya berlebihan.

Apa arti kebebasan yang salah dalam sastra?
Kebebasan yang salah dalam sastra itu adalah kebebasan yang mengutarakan pemikiran yang tidak membangun hingga sampai pada masalah-masalah di luar akhlak. Kebebasan ini memang sulit dihindari karena memang tidak ada hukumannya. Namun, untungnya saat ini sudah ada UU APP meskipun awalnya terjadi perlawanan besar-besaran karena walau bagaimana pun segala sesuatu itu harus ada batasannya.

Seberapa besar kesusastraan Indonesia mempengaruhi masyarakat kita sekarang?
Sangatlah besar pengaruhnya. Yang paling penting adalah bahwa mereka tidak berdiri sendiri. Sastra yang ‘aneh’ itu bahu-membahu bersama visualisasi, bisa dalam bentuk VCD, DVD, dsb. Apalagi saat ini harganya sangat murah dan mudah didapat siapa pun. Mereka juga berjalan bersama narkoba, alkohol, dan nikotin. Jadi, kebebasan itu tidak berjalan sendiri tetapi saling bahu-membahu membela dirinya di atas kekuatan yang sungguh luar biasa yaitu modal raksasa.

Lalu, apa arti sastra bagi Bapak?
Sastra adalah sastra. Sastra yang sebenarnya adalah yang mampu memberi pencerahan kepada manusia, yang menyebabkan manusia menjadi lebih arif, berakhlak, dan mengingat Allah. Kita harus pegang teguh itu, meskipun kita hidup dalam masyarakat yang berbeda-beda yang disebut pluralistik. Kita banyak menghadapi orang-orang yang sangat dipengaruhi oleh pikiran Barat, bahkan ada yang menjadi budak dari pikiran itu. Maka, berhati-hatilah kita.

Apakah latar belakang budaya mempengaruhi karya sastra Bapak?
Tentu. Saya berasal dari keluarga muslim yang memiliki pendidikan Islam yang sangat kuat. Itu bisa dilihat dari karya-karya saya. Penulis lain juga pasti memiliki latar belakang berbeda.

Berkaitan dengan kesukaan menulis dan membaca, apakah Bapak mewariskannya kepada anak Bapak?
Untuk menulis memang tidak, tetapi untuk membaca iya. Anak saya juga sangat suka membaca. Tetapi, itu banyak ia gunakan untuk bidang yang ditekuninya, yaitu bisnis. Itu pun, sudah membuat saya banyak bersyukur.

Buku apa yang paling berpengaruh bagi Bapak?
Banyak, banyak sekali. Saya tidak bisa memilihnya karena buku itu bagus-bagus. Setiap kali saya membaca, saya ingat buku dan isinya. Hasil dari membaca itu kemudian saya terapkan pada tulisan saya.

Kalau dihitung, berapa banyak buku yang Bapak baca selama sebulan?
Tidak tentu, yang jelas setiap hari saya pasti membaca. Sastrawan yang selalu mengukur jumlah buku yang dibaca adalah Rosihan Anwar. Dalam seminggu, dua buku habis ia baca.

Apa pesan Bapak kepada kami mahasiswa terutama yang berkecimpung dalam bidang bahasa dan sastra Indonesia?
Ada dua. Pertama, banyaklah membaca dan yang kedua, teruslah berlatih menulis.

Bagaimana kami harus bersikap jika tidak bisa meneruskan proses menulis hingga selesai?
Nah, itu yang dinamakan writer’s block. Asal kalian tahu, yang mengalami itu tidak hanya kalian saja, tetapi ada sepuluh, seratus, seribu, sepuluu ribu orang, bahkan lebih, pada hari ini di Indonesia. Banyak sekali orang yang mengalami hal ini.

Lalu bagaimana cara mengatasinya? Apakah dihentikan sampai di situ?
Jika mengalami writer’s block, singkirkan dahulu tulisan itu. Pada suatu waktu, ketika ingat atau menemukan inspirasi lanjutkan kembali. Kesampingkan saja tetapi jangan sampai dihentikan.

Apa yang menyebabkan writer’s block itu terjadi? Apakah karena kurang membaca?
Ya, itu salah satunya. Selain karena kurang membaca, kondisi tubuh yang kurang sehat juga berpengaruh

Bagaimana Bapak mengatasi jika ide muncul tiba-tiba tetapi Bapak belum sempat mencatatnya? Apakah tidak takut jika ide itu hilang?
Saya ingat-ingat saja karena ide itu nantinya akan seperti lampu yang menyala. Akan tetapi, itu dahulu ketika masih muda, sekarang saya lebih sering mencatatnya dalam buku appointment karena banyak lupa.

Apa karya Bapak yang paling berkesan?
Aku dan Bapak Taufiq Ismail, tepat di ruang tamunya ^^
Semua berkesan, tetapi yang paling berkesan adalah Benteng, Tirani, dan Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia karena dibuat oleh pemikiran yang lebih matang.

*Tugas semester III mata kuliah Dasar Keterampilan Berbicara, bertemu langsung dengan Bapak Taufiq Ismail di kediamannya di daerah Utan Kayu, Jaktim. ^^


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer