Halaman

Selasa, 31 Mei 2011

Superment (Super Mentoring Training) yuhuu…

Hari/Tanggal : Sabtu, 28 Mei 2011
Tempat         : Ruang O 101-102 FBS UNJ
Pembicara     : Ust. Sri Mudji (0856 9315 0263, 3363 5949)

Setelah izin terlebih dulu kepada panitia bahwa saya tidak bisa mengikuti acara tersebut hingga selesai, akhirnya catatan ringkas ini pun dibuat. Lumayanlah untuk dibaca ulang, daripada tuh catatan jadi lembaran yang mudah hilang.
“Membina ibarat menggosok batuan mulia di mana dia butuh teori, seni, dan pengalaman. Plus, landasi dengan keikhlasan. Hasilnya…. Paten!”
Mengapa mesti membina? Mau tau jawabannya? Jamaah… oh… Jamaah...!!! Hehe J
Coba intip di Al Baqoroh 195, “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”
Eits, ternyata masih ada jawaban lainnya dari Ust. Sri Mudji. Mau tau? Kita lihat iklan dulu yaaa… J

(CERITANYA IKLAN YA!)

Jamaah… oh… Jamaah…! Simak yaa..
1.      Kontribusi
Peribahasa Arab, “Siapa tidak menambah sesuatu di bumi, maka ia adalah beban bagi bumi.”

2.      Active Income
“Siapa yang menunjukkan pada kebaikan, maka ia mendapat seperti pahala orang yang melaksanakan kebaikan tersebut.” (HR. Muslim

3.      Kualitas Hidup
Al Bayyinah 6-7, “Sesungguhnya orang-orang kafir dari ahli kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke Neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal salih, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk

4.      Kepahlawanan
Nyata, dalam hidup ini kita memerlukan tokoh untuk dijadikan sebagai teladan. Dan tidak dipungkiri pula bahwa kita suatu waktu perlu menjadi tokoh teladan bagi orang lain. Misalnya, Sultan Muhammad Al Fatih dicontohkan sebagai salah satu tokoh teladan milik Islam (dalam kisah Konstantinopel)

Murabbi itu….
1.      Walid (orang tua) dalam hubungan emosional.
2.      Syaikh (bapak spiritual) dalam tarbiyah ruhiyah.
3.      Ustadz (guru) dalam mengajarkan ilmu.
4.      Qaid (pemimpin) dalam kebijakan umum dakwah.

Suplemen yang baik untuk mentor adalah memiliki daya sentuh, daya gugah, dan daya ubah!  Kelompok yang baik adalah kelompok yang seimbang antara dinamisasi dengan produktivitas!

Menurut KH. Rahmat Abdullah, murabbi ideal itu…
1.      Paling kokoh sikapnya
2.      Paling lapang dadanya
3.      Paling dalam pemikirannya
4.      Paling luas cara pandangnya
5.      Paling rajin amal-amalnya
6.      Paling solid penataan organisasinya
7.      Paling banyak manfaatnya

Ayo, cintai binaan kita! Perhatikan dengan hati! J
Nah, itu dia ringkasannya, saya nggak sempat ikut sesi tanya jawab. Kenapa? Mau tau aja… Hehe J


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Senin, 30 Mei 2011

Surat kepada Ikhwatifillah

 Dibaca ulang, semakin terpekur! Astaghfirullah...

 

 

Sinergisitas Antara Amal Dakwah, Akademik, dan Skill

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Kutuliskan surat ini dengan penuh mengharapkan keikhlasan kepada Allah, dan saya senantiasa berharap agar Allah selalu mempersatukan batin kita hanya dalam kenikmatan dalam jamaah ini. Semoga ini menjadi salah satu bukti atau minimal menjadi bukti kecil perhatian para alumni terhadap dakwah antum disana, di kampus tercinta. jangan pernah sekali-kali berpikir bahwa alumni telah melupakan dakwah antum di kampus tercinta, tidak, tidak sama sekali... ingatlah, jika sekali waktu antum menemui kesulitan dalam mengemban amanah mulia ini maka jangan ragu-ragu untuk hubungi kami, insya Allah kami akan senantiasa membantu sesuai dengan kapabilitas kami masing-masing. Walau kita tidak lagi dipersatukan secara fisik, tapi ingatlah ikhwah fillah, doa rabithah yang senantiasa kita baca bukan tidak membekas, bahkan sangat! dan persaudaraan kita telah dipersatukan oleh Allah, kita hanya ingin menjadi seperti yang telah disebutkan Allah dalam hadist, dua orang pemuda yang bertemu dan berpisah hanya karena Allah... semoga Allah memasukkan kita dalam golongan tersebut. Allahumma amien…

Ikhwatifillah,
Dakwah, akademik, dan skill adalah tiga mata rantai yang harusnya tidak bisa terpisahkan dalam pribadi seorang dai. ketika kita menyebut pribadi dai maka harusnya yang terbayang di benak kita adalah bukan hanya pribadi yang menghabiskan waktunya hanya dalam masalah dakwah semata, tapi dia melupakan sisi akademik dan skill kemahasiswaannya.

Seorang dai harusnya tawazun dalam ketiga hal tersebut. tawazun adalah tidak sama dengan seimbang. Jika diibaratkan angka seratus, tawazun bukan berarti 33 1/3 persen untuk dakwah, 33 1/3 persen untuk akademik, dan 33 1/3 persen untuk skill tapi tawazun adalah proporsional. Ada kalanya kita harus mencurahkan seluruh potensi kita hanya untuk akademik di suatu waktu, tapi di waktu lain kita harus mengerahkan seluruh potensi diri kita untuk dakwah dan begitu juga dengan pengembangan skill.

Ketika kita sedang kuliah, maka kerahkanlah perhatian kita hanya untuk mendengar apa yang disampaikan dosen dalam kelas. Akan salah kalau ketika menerima mata kuliah kita berpikir tentang hal lain. Begitu juga ketika ada sebuah amanah dakwah yang harus kita selesaikan, maka selesaikanlah dengan baik, jangan sampai dicampur dengan permasalahan di luar permasalahan dakwah yang sedang kita hadapi

Dari berbagai macam pengalaman, justru saat kita tidak bisa tawazun maka berbagai macam qadhoya mulai bermunculan… Qadhoya tersebut akhirnya hanya akan menghambat perkembangan dakwah kampus dengan atau tanpa kita sadari. Bukankah jika kehilangan seorang aktivis dakwah maka sedikit banyak akan menghambat pertumbuhan dakwah kampus?

Bagaimana caranya untuk bisa tawazun? Ini yang butuh sikap konsistensi kita terhadap apa yang telah kita rancang. Di atas ana telah sebutkan, bahwa ketika antum sedang menghadapi sebuah permasalahan maka curahkan semua perhatian hanya pada masalah yang bersangkutan, jangan dicampur aduk dengan yang lain. Dan ingatlah ikhwah, jika kita bisa mempelajari sebuah permasalahan hanya 2 jam, maka jangan habiskan waktu 3 jam untuk menyelesaikannya! Jika kita mampu menyelesaikan permasalahan organisasi hanya dengan 1 hari maka sekali lagi jangan habiskan waktu 2 hari untuk menyelesaikannya!

Sekarang berkembang sebuah permasalahan di kalangan aktivis, bahwa mereka mempunyai waktu yang sangat kurang dalam menyelesaikan sebuah permasalahan. Kalau menurut ana, hal itu tidaklah sepenuhnya benar. Mari kita lihat ke belakang, seberapa efisienkah waktu yang telah kita pergunakan. Tentu banyak sekali waktu yang kita buang percuma.

Lalu di antara ketiga itu mana yang penting? Tidak ada sesuatu hal yang menempati tingkatan lebih penting jika dibandingkan dengan yang lain. Ikhwah fillah, dakwah adalah sebuah kewajiban hidup, tidak hanya bagi kita yang telah menamakan diri kita sebagai aktivis dakwah, bahkan seluruh umat Islam pun diwajibkan untuk berdakwah… “Barangsiapa yang bangun di pagi hari dan tidak memperhatikan keadaan ummatku, maka sungguh dia bukan golonganku” hadist itu menjadikan bukti konkret bahwa dakwah adalah keniscayaan bagi seluruh umat Islam apalagi kita, aktivis dakwah kampus!

Akademik dan skill, siapa yang bilang kalau itu pun tidak wajib untuk kita pelajari. Kita sedang kuliah di fakultas teknik, ada tuntutan lebih dari Islam terhadap kita. Selain berdakwah, kita juga dituntut untuk mahir dalam bidang yang kita kuasai sehingga nanti kita bisa menguasai dunia dengan ilmu yang kita miliki. Allahumma amien. Ana membayangkan bagaimana kalau nanti kampus putih biru yang terletak jauh dari ujung bandung, melahirkan purnamahasiswa yang mengusai teknologi dengan sangat dan tidak pernah lupa mendirikan qiyamullail dan senantiasa berdakwah. Subhanallah ! bukankah itu azzam kita bersama.

Ketika antum memasuki dunia kerja. Ketiga hal itu pun sangat dipakai. Jika antum mulai dari sekarang sudah berazzam untuk menjadi pegawai di sebuah perusahaan besar yang berskala nasional dan multinasional maka siapkan IPK minimal 3.00. Saat itu antum akan merasakan bahwa IPK (akademik) sangat berperan. Setelah antum menjadi pegawai, antum harus berinteraksi dengan rekan kerja yang lain, hal demikian harus antum lakukan untuk bisa dipromosi.. Di sinilah sangat dibutuhkan kemampuan manajerial dari antum… mulai fase ini IPK sudah tidak begitu diperhatikan lagi karena yang diperhatikan adalah sejauh mana kecakapan antum dalam menyelesaikan pekerjaan dan kemampuan antum dalam berinteraksi dengan rekan kerja.

Banyak orang terlena dengan kerjaannya… Seluruh hidupnya seolah-olah hanya dihabiskan untuk mencari duit semata. Bayangkan bangun jam 6 pulang sehabis isya tidakkah ini melelahkan. Banyak diantara mereka yang kehilangan jati diri mereka karena dunia telah menghiasi hidup mereka… Saat inilah ikhwah fillah, tarbiyah sangat berperan. Ruhiyah antum sangat berperan. Tarbiyah yang baik akan mampu menjaga antum dari kejadian di atas. Antum tetap akan menjadi seorang jundi yang sebenarnya mempunyai sebuah misi khusus dimana pun antum berada sehingga antum akan sangat mudah menjadikan semua wasilah kerja untuk meningkatkan pertumbuhan dakwah.

Begitulah kira-kira ikhwah, gambaran sinergisitas antara dakwah, akademik, dan skill semoga paparan singkat ini menjadi persiapan khusus buat antum yang sedang mengeluti permasalahan akademik dan dunia dakwah kampus.

Tetap istiqamah, teruskan perjuangan yang telah diwarisi oleh generasi sebelumnya. Yakinilah setiap fase itu mempunyai permasalahan masing-masing yang hanya dapat diselesaikan dengan cara masing-masing. jangan memperbesar masalah yang kecil, segeralah dalam melakukan amal, insya Allah dengan cara itu dakwah kampus akan berkembang dan semoga Allah mencatat amal dakwah antum sehingga antum dengan bangga dapat menunjukkannya di hadapan Allah ketika yaumul akhir kelak.. Allauhumma amien.


(diambil dari sebuah blog, afwan ana lupa alamatnya)




Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Kamis, 26 Mei 2011

Kolom Sapa (1)

Assalamualaikum....
Kalau kalian pernah dengar kata voice, pasti nggak jauh-jauh deh sama yang namanya suara. Tapi, jangan dipikir ini suara yang merdu, yang beriringan dengan musik, dan membuat penonton riuh bertepuk tangan. Tapi ini adalah...
Apa sih Shohwah Voice?
-    Shohwah Voice merupakan grup nasyid akhwat, jebolan anak-anak rohis di salah satu SMK Negeri di Jakarta sekitar empat tahun lalu. Dibentuk karena harus mengisi hiburan di acara-acara keakhwatan di rohis sekolah. Shohwah itu sendiri diambil dari nama keponakan salah satu personil, yang katanya berarti “kebangkitan”. Selain itu sih, filosofisnya begini: kami berharap hobi bernasyid itu bisa membangkitkan semangat bagi pendengarnya (perempuan-red). Ya, paling tidak, semangat untuk menutup telinga lekat-lekat dan mual-mual setelahnya. Tapi, jangan heran... Meskipun begitu, nggak akan membuat kami kehilangan rasa PD. Karena justru itulah modal berharga mereka nomor wahid. Bukan modal suara, tentunya, hehe J

Ada siapa aja di sana?
-    Hmm, siapa aja boleh yang penting oke kayak gue... (bahasa ABG labil ini mah). Kalau pertanyaannya seperti ini, jadi bingung jawabnya apa. Tapi, yang jelas, di sini ada orang-orang yang sok ke-PD-an. Bernasyid saja terus yang penting senang! Sempat berganti-ganti personil karena waktu latihan pun hanya dilakukan ketika ada ‘panggilan’. Yang sempat mewarnai SV itu ada Vina, Inay, Iyus, Okty, wew siapa lagi yak? Nah, yang masih sering nongkrong bareng itu Dian, Kiki, Endah, Eka, Santi, Hae, dan Ntul. By the way, belum punya manajer nih. Biasanya sih, siapa yang dapat orderan manggung, dialah yang bertanggung jawab mengatur jadwal latihan. Beuh... J

Base camp kalian di mana sih? Ya, kali aja boleh mampir gitu...
-    Base camp kami masih di sekitar Jakarta Timur, nggak jauh-jauh dari tempat tinggal para personil. Kalau kalian mau mampir, sms aja dulu supaya kita siap-siap jaga image dan belajar menerima kenyataan dari kalian, “Hmm, suara aslinya gak bagus-bagus amat kok.” Yayaya, kami pasti akan menerima dengan lapang dada. Paling bagus kalau kami jawab,”Gak apa-apalah, namanya juga anak-anak.” (anak bawang dalam dunia nasyid, hehe!)

Emang udah pernah tampil di mana aja sih?
-    Yang pasti kalau ada panggilan, barulah kami tampil. Mungkin yang sering ya tampil di acara keputrian sekolah kami. Kalau yang di luar sekolah, baru bisa dihitung pakai jari. Tapi, lumayanlah untuk mengikat ukhuwah, menambah relasi, menghibur diri-sendiri, dan mengingatkan diri dan orang lain untuk senantiasa melakukan kebaikan melalui lagu. SV pernah mengikuti lomba nasyid akhwat se-DKI Jakarta yang diadakan LDK UNJ, juga lomba nasyid akhwat SMA/SMK se-Jakarta Timur. Selain lomba, juga mengisi sesi hiburan di acara seminar keputrian yang diadakan di Universitas Dharma Persada, Aula Masjid Al Azhar, dan insya Allah yang akan datang itu di Kampus BSI Salemba dan SMK BPS&K.

Lagu apa aja yang biasanya dibawakan?
-    Biasanya kami membawakan lagu yang sesuai dengan tema acara. Kalau tentang pranikah, ya berarti seputar itu. Tapi, perlu dipertimbangkan juga dengan kemampuan kami, artinya yang mudah dan nyaman ketika dinyanyikan. Lagu-lagu JV yang paling sering kami nyanyikan seperti ABG, Rumus Canggih, Ingkar, Senyum Dong Fren. Lagu lainnya juga pernah seperti Masa Muda, Ayo Menikah, Bersatu, Syukur, Kasih Putih, dsb. Apa pun lagunya, semoga ada yang ‘nyelip’ di hati teman-teman pendengar.

Kayaknya sampai di sini dulu ya, kolom sapa kali ini. Nanti kita lanjutkan kembali. Allahu Akbar!!! Senyummmm... J


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Selasa, 24 Mei 2011

Ada Saatnya

ada saatnya pagi-pagi berantakan
kaki-kaki kecil mengejar kupu-kupu di sela jelaga
klakson yang bernyanyi
sesekali aku memukul-mukul tangkai pintu buskota
kita harus cepat sampai
beberapa menit lagi kita mulai
bos datang dan kita...
kita akan menjadi lelah berkepanjangan
kemudian membesar-besarkan hati
: “Ini, Nak, ada sebungkus permen
dan setangkup roti selai untukmu...”
begitu seterusnya
tapi masih senyummu yang tinggal di sini!


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Jumat, 20 Mei 2011

Kembang-kembang Pagi

kembang yang menggantung di wajahmu
sesekali ribut
menjelang pagi
manakala dia menunduk di hadapanmu
dan kamu pun mendongak
tangkaimu jadi kering
tak pernah ada pesan
kecuali tentang esok hari
kembang yang lepas dari tangkai
kelopaknya jatuh satu-satu
entah rapuh entah sunyi
hanya badai malam tadi
yang tiada pernah sembunyi



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Kamis, 19 Mei 2011

How Cool...

  1. Jalanan
  2. Buku
  3. Baca
  4. Menulis
  5. Anak-anak
  6. Orator
  7. Puisi
  8. Bunga
  9. Binatang Peliharaan
  10. Lagu
  11. Naik Gunung
  12. Pantai
  13. Kupu-kupu
  14. Belajar
  15. Kereta Api


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Minggu, 15 Mei 2011

rasa

Maaf, jika harus mengatakan, "Aku mencintaimu..." Ya, kutegaskan sekali lagi, "Aku mencintaimu...! (semoga) karena Allah..."

Beberapa hari ke belakang, seperti memutar ulang sebuah episode kehidupan. Kisah ini tentang rasa, bagaimana hati itu mampu berbicara. Sayangnya, kau mungkin juga aku lebih sering mengabaikannya. Maaf, aku salah! Selalu salah! Aku tahu kau mengintaiku, memperhatikanku dengan menyelinap seperti sepi yang menyelimuti dingin. Kau berbisik, "Jangan resah. Ini kan ada aku..." Katakan dengan keras sekali lagi. Nyata, kau terlalu pelan mengungkapkan.

Hingga pernah pada suatu ketika, aku menjadi limbung, "Di mana engkau? Aku di sini, tapi kau tak ada. Tak pernah ada kala aku membutuhkan..." Ah, aku ini. Bodoh. Siapa juga yang pernah mendeklarasikan bahwa "Ya, aku akan selalu ada untukmu!" Dan angin pun gemuruh, seolah tahu itu adalah pernyataan bodoh. Hmm...




Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Rabu, 11 Mei 2011

Gethuk Cenil

    Saya baru saja menghabiskan gethuk cenil seharga seribu rupiah. Setelah segelas teh waktu itu, kali ini lagi-lagi, Mama yang mengantarkannya ke kamar.
    "Dasar anak manja...!"
    "Eh, bukan. Tapi beneran kok, saya nggak pernah minta diantarkan ini-itu sama Mama."
Gethuk cenil yang dibungkus di kertas itu memulangkan saya pada kenangan ketika saya masih berusia sekitar empat atau lima tahun. Tadi pun saya bertanya, "Ma, ini tukang gethuknya masih kaya dulu?"
    "Iya, pake baskom juga..."
    Ah, ternyata masih ada. Saya masih ingat bahwa saya paling tidak suka gethuk yang berwarna hitam, yang terlihat seperti terasi. Sebenarnya sih ada namanya sendiri, apa gitu, saya lupa. Waw, setelah tadi saya makan, ternyata rasanya enak. Oneng banget waktu dulu nggak suka. Mama... Mama... makasih yaa.. :)



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Rabu, 04 Mei 2011

Membaca Isyarat

Oleh: Dwi Endah Septyani*)

Di luar, embun masih bergayut menuju pucuk-pucuk daun. Hampir keliru antara embun atau sisa rintik. Sementara aku bingung, mematung di balik jendela. Kaca jendela masih beruap, tak terlihat betapa beningnya kaca itu jika tidak hujan deras semalaman. Di atasnya, aku menuliskan namanya kemudian kuhapus. Menuliskan namaku, kemudian kuhapus. Terakhir, aku menuliskan nama kami. Di tengahnya ada gambar hati. Ah, kenapa aku masih seperti remaja saja? Aku tersenyum.
Hari ini pagi akan bersusah-payah berangkat menuju malam. Menjadi pagi yang terlalu indah kunikmati sendiri. Seharusnya aku bisa membuatkan sarapan untuknya. Seharusnya aku masih bisa mendengarkan cerita-ceritanya. Seharusnya aku tidak membuat keputusan itu. Beribu ‘seharusnya’ itu tiba-tiba menyerbu.
Perlahan hatiku mengekalkan namanya, tapi perlahan juga aku ingin melupakannya. Namun sayang, ia terlalu seperti mentari. Biar hujan datang semalaman, ia tetap datang. Meski sekadar untuk mengeringkan baju balita kami yang kini berusia tiga tahun, Salwa. Dari mentari, kami tidak pernah sekali pun diajarkan tentang kehilangan. Dari mentari pula, kami tidak belajar bagaimana cinta itu dilupakan.
***
Seperti biasa, sebelum memulai aktivitas kami selalu menyempatkan diri untuk sarapan dan berbincang-bincang sejenak di teras belakang. Tidak lupa tiga jenis koran turut menjadi santapan kami setiap pagi.
“Anin, apakah kau pernah merasakan ketakutan yang hebat?” tanya Mas Andra di sela-sela waktu sarapan. Matanya yang elang memandangku tajam. Pertanyaannya terdengar tegas dan tidak biasa. Akan tetapi, bibirnya sempurna mengulum senyum.
“Ketakutan? Takut kucing, Mas. Menggelikan, dan matanya itu lho...” aku menjawab sambil mengangkat bahu. Sedikit bergidik.
“Ini bukan tentang phobia, sayang...”
“Oh, kupikir tentang itu.”
 Mas Andra membersihkan tangan dan bibirnya dengan tisu. Kemudian aku mengikutinya bangkit dari kursi. Sambil menunggunya memakai sepatu, aku mengambilkan tas kerjanya dari kamar. Kami beriringan menuju gerbang depan rumah.
***
Sejak tiga bulan lalu, kami resmi menjadi sepasang suami istri. Sejak saat itu pula, aku total menjadi istri yang baik bagi Mas Andra. Padahal, waktu masih jadi mahasiswa aku tergolong sebagai mahasiswa yang superaktif. Meskipun demikian, aku bahagia. Sebab, bagiku itu berarti pengabdian. Terutama mengabdi pada Bapak yang memintaku untuk menerima pinangan Mas Andra,  yang tak lain dan tak bukan adalah satu-satunya karyawan teladan di perusahaan kecil milik Bapak.
Di suatu siang yang terik ketika itu, aku baru saja pulang mengajar.
“Nin, bagaimana dengan tawaran Andra?” Bapak bertanya membuatku tergopoh-gopoh tak karuan. Aku baru saja bergelar sarjana sebulan sebelumnya tapi Bapak sudah mempertanyakan hal itu. Saat itu belum sedikit pun tebersit tentang mahligai pernikahan. Masih banyak mimpi yang ingin kuraih, lagipula masih banyak hati yang ingin kukenali lagi. Bukan dia, bukan Mas Andra. Ini terlalu cepat.
“Anin, kamu dengar Bapak ‘kan?”
“Iya, Pak. Tunggu, Anin ke kamar dulu.”
Di kamar aku termangu. Mencari bayang wajah Ibu yang menenangkan. Tepat seminggu sebelum wisuda, Ibu benar-benar pergi untuk selamanya. Padahal, sehari sebelum kepulangannya yang abadi, Ibu tergelak karena candaan itu.
“Nin, seminggu lagi kamu wisuda, sebulan kemudian mungkin kamu akan menemukan hidupmu yang baru, lalu meninggalkan Ibu.”
“Maksud Ibu?”
“Ah, kamu, pura-pura tidak tahu. Ibu merestuimu kok. Berbahagialah, Ananda,” Ibu tersenyum kecil.
Dari mataku menetes air bening yang asin. Kuseka dengan ujung jemari yang lunglai. Aku lemas. Inikah isyarat yang ditunjukkan Ibu beberapa bulan lalu. Andai masih ada Ibu, aku akan bertanya, “Di manakah letak keadilan, Ibu? Bukankah Ibu tahu, aku tak suka dengan semua ini.”
Nasi sudah jadi bubur. Satu jam kemudian, aku keluar kamar. Kutemukan Bapak sedang tersenyum sendirian sambil memegang gagang telepon. Belum sempat aku membuka percakapan, Bapak lebih dulu berbicara, “Sudah Bapak jawab ‘iya’ kepada Andra.”
Hatiku benar-benar runtuh. Kaca jendela yang bertabrakan dengan pandangku serasa pecah berkeping-keping. Hancur dan menyatu dengan air mata yang tumpah. Keputusan itu tidak mungkin dibatalkan.
***
“Kamu mencintaiku, Anin?” rangkulan Mas Andra di bahuku mengiringi tanya. Kupegang tangannya, kulepas, dan berbalik arah. Kupalingkan wajahku ke wajahnya yang tangguh.
“Tidak.”
Mas Andra terkejut. Lelaki itu, baru kuketahui ternyata ia pandai menjerat hati. Padahal, sehari sebelum menikah aku hampir belum sadar kalau aku sudah ikut serta dengan keputusan ini; setengah keputusan Bapak, seperempat keputusanku, dan seperempat lagi mungkin keputusan almarhumah Ibu.
“Benar, kamu tidak mencintaiku?”
“Iya, aku tidak benar-benar tidak mencintaimu.”
“Aku beruntung, Bapak mengenalkanku padamu. Ya, itu pun juga karena suamimu ini adalah karyawan teladan di kantor itu. Hehehe...”
“Besok jadi kita pergi, Mas?”
“Kita lihat saja nanti.”
Mendengar jawabannya demikian, aku setengah bahagia setengah kecewa. Bayangkan, sejak menikah belum pernah sekali pun kami pergi ke luar kota, bahkan Bogor yang notabene dekat Jakarta pun tidak. Selama ini, jalan-jalan kami hanya dari mall ke mall. Membosankan.
Aku sering menanyakan hal itu, tentang suamiku yang tidak pernah mengajak ke luar kota. Padahal, untuk urusan kantor ia sering sekali ke sana, luar pulau bahkan. Semua ini terlalu aneh di mataku. Alasan-alasannya abu-abu di pikiran. Maka, aku perlu menyelidikinya entah pada suatu kapan.
***
“Iya, tapi aku tidak bisa,” intonasinya penuh tekanan.
“Aku tidak mungkin membatalkannya, Mas. Tidak enak.”
Om Jay, adik laki-laki Bapak, besok lusa akan menikahkan putrinya di Kota Pelajar, Yogyakarta. Lagi-lagi, Mas Andra mengulang kebiasaannya: menolak kepergian kami ke luar kota. Entah ini yang ke berapa. Tak terhitung.
“Kenapa?”
“Aku harus menemui klien.”
“Ditunda masa’ tidak bisa?”
“Sudah kubilang tidak bisa! Kamu pergi saja dengan Eliana, sampaikan salamku untuk semua. Maaf, aku benar-benar tidak bisa datang.”
“Tapi, Mas...”
“Pergilah besok pagi, aku mengizinkanmu, Anin,” nada suaranya yang tinggi mulai merendah.
Suasana dingin. Aku kecewa. Baiklah, aku tetap pergi meskipun tanpa Mas Andra. Yang jadi masalah sekarang adalah bagaimana harus kujawab semisal ada pertanyaan dari keluarga besar. Entah.
***
Taman kota, sore. Semilir angin menerbangkan dedaunan kering. Sengaja, aku mengajaknya untuk berbincang berdua saja. Anakku, yang kini berusia dua tahun, kutinggalkan dengan pembantu di rumah. Kami memilih duduk di dua bangku panjang yang letaknya berhadapan.
“Tumben, kamu mengajakku ke sini. Biasanya tidak tanggung-tanggung, ke Bandung, ke Yogyakarta, ke Bali... Eh sekarang malah ke taman.”
Mas Andra sepertinya mencium akan ada sesuatu yang terjadi di sini. Wajahku mulai pahit dan teduh. Air mata hampir keluar dari tempat penjagaan. Aku tidak boleh menangis. Aku harus tegar.
“Lho, kok diam?” aku bingung harus memulainya dari mana. Terlalu banyak yang bersesakan di pikiranku. 
“Mas masih ingat Mbak Rima, tetangga kita dulu?”
“Ya.”
“Jemputlah Mbak Rima yang lainnya. Aku ikhlas.”
“Maksudmu?”
Aku menyebutkan nama seorang perempuan, Mbak Rima. Dengan tiga anaknya yang masih kecil-kecil, ia hidup mencari nafkah sendiri. Tanpa seorang suami. Ia tidak tahu ke mana suaminya pergi. Setelah berpamitan ke kota, tidak pernah kembali lagi. Maka ia memutuskan untuk ke ibukota juga.
“Putra-putrimu menunggu di sudut kota kecil itu. Pergilah. Aku akan membesarkan Salwa di sini.”
Aku menunduk, tak kuasa menahan tangis. Tisu yang awalnya kupaksa untuk tidak keluar dari tas, dipakai juga. Aku sesengukan. Tapi Mas Andra diam saja.
“Kenapa tidak jujur? Aku sudah menangkap ada yang aneh denganmu, Mas. Semuanya sudah terlanjur. Aku kecewa, sangat kecewa!! Tidak habis pikir kenapa kamu setega itu!”
Mas Andra menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya yang lebar. Letak duduk kami sama sekali tidak berubah. Aku tetap berusaha menguasai diri.
“Jawab, Mas, jawab! Ternyata kamu pengecut, lari dari kenyataan,” aku makin menantang dengan ribuan pertanyaan yang belum seluruhnya terkatakan.
“Nama-nama orang yang kamu sebut dalam igau itu nama mereka ‘kan? Nama istrimu, nama anak-anakmu. Aku sudah bertemu dengan mereka. Aku tidak marah, hanya kecewa denganmu.”
“Ya, aku mengaku salah. Aku minta maaf. Sudah lama aku ingin jujur, tapi bibir ini menolak. Biarlah kamu yang menemukan alasan sebenarnya.”
“Ya, sekarang aku sudah tahu. Besok ceraikan aku, kembalilah pada mereka.”
Senja mulai meremang. Sesekali kepak burung sore terdengar, tapi tak seceria biasanya. Kami beriringan berjalan kaki menuju rumah. Jarak antara rumah dengan taman tidaklah terlalu jauh, namun cukup bagi Mas Andra untuk bercerita tentang semuanya. Tentang lamarannya padaku yang sebenarnya merupakan keinginan Bapak sehingga tidak ada pilihan lain selain mengiyakannya. Benar, enam bulan pascapernikahan, Bapak menyusul Ibu.
Isyarat, adakah yang bisa kubaca dari segala kesepian dan kebisuan itu? Ya, waktu terlalu baik untuk mengungkap segalanya. Aku percaya.

-SELESAI-
Catatan:
Alhamdulillah, cerpen ini dimuat di Majalah Sekar Edisi 55/11 20 April-4 Mei 2011. Semoga menambah semangat dalam menoreh karya. Amiin.. ^^


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer