Oleh: Dwi Endah Septyani*)
Di luar, embun masih bergayut menuju pucuk-pucuk daun. Hampir keliru antara embun atau sisa rintik. Sementara aku bingung, mematung di balik jendela. Kaca jendela masih beruap, tak terlihat betapa beningnya kaca itu jika tidak hujan deras semalaman. Di atasnya, aku menuliskan namanya kemudian kuhapus. Menuliskan namaku, kemudian kuhapus. Terakhir, aku menuliskan nama kami. Di tengahnya ada gambar hati. Ah, kenapa aku masih seperti remaja saja? Aku tersenyum.
Hari ini pagi akan bersusah-payah berangkat menuju malam. Menjadi pagi yang terlalu indah kunikmati sendiri. Seharusnya aku bisa membuatkan sarapan untuknya. Seharusnya aku masih bisa mendengarkan cerita-ceritanya. Seharusnya aku tidak membuat keputusan itu. Beribu ‘seharusnya’ itu tiba-tiba menyerbu.
Perlahan hatiku mengekalkan namanya, tapi perlahan juga aku ingin melupakannya. Namun sayang, ia terlalu seperti mentari. Biar hujan datang semalaman, ia tetap datang. Meski sekadar untuk mengeringkan baju balita kami yang kini berusia tiga tahun, Salwa. Dari mentari, kami tidak pernah sekali pun diajarkan tentang kehilangan. Dari mentari pula, kami tidak belajar bagaimana cinta itu dilupakan.
***
Seperti biasa, sebelum memulai aktivitas kami selalu menyempatkan diri untuk sarapan dan berbincang-bincang sejenak di teras belakang. Tidak lupa tiga jenis koran turut menjadi santapan kami setiap pagi.
“Anin, apakah kau pernah merasakan ketakutan yang hebat?” tanya Mas Andra di sela-sela waktu sarapan. Matanya yang elang memandangku tajam. Pertanyaannya terdengar tegas dan tidak biasa. Akan tetapi, bibirnya sempurna mengulum senyum.
“Ketakutan? Takut kucing, Mas. Menggelikan, dan matanya itu lho...” aku menjawab sambil mengangkat bahu. Sedikit bergidik.
“Ini bukan tentang phobia, sayang...”
“Oh, kupikir tentang itu.”
Mas Andra membersihkan tangan dan bibirnya dengan tisu. Kemudian aku mengikutinya bangkit dari kursi. Sambil menunggunya memakai sepatu, aku mengambilkan tas kerjanya dari kamar. Kami beriringan menuju gerbang depan rumah.
***
Sejak tiga bulan lalu, kami resmi menjadi sepasang suami istri. Sejak saat itu pula, aku total menjadi istri yang baik bagi Mas Andra. Padahal, waktu masih jadi mahasiswa aku tergolong sebagai mahasiswa yang superaktif. Meskipun demikian, aku bahagia. Sebab, bagiku itu berarti pengabdian. Terutama mengabdi pada Bapak yang memintaku untuk menerima pinangan Mas Andra, yang tak lain dan tak bukan adalah satu-satunya karyawan teladan di perusahaan kecil milik Bapak.
Di suatu siang yang terik ketika itu, aku baru saja pulang mengajar.
“Nin, bagaimana dengan tawaran Andra?” Bapak bertanya membuatku tergopoh-gopoh tak karuan. Aku baru saja bergelar sarjana sebulan sebelumnya tapi Bapak sudah mempertanyakan hal itu. Saat itu belum sedikit pun tebersit tentang mahligai pernikahan. Masih banyak mimpi yang ingin kuraih, lagipula masih banyak hati yang ingin kukenali lagi. Bukan dia, bukan Mas Andra. Ini terlalu cepat.
“Anin, kamu dengar Bapak ‘kan?”
“Iya, Pak. Tunggu, Anin ke kamar dulu.”
Di kamar aku termangu. Mencari bayang wajah Ibu yang menenangkan. Tepat seminggu sebelum wisuda, Ibu benar-benar pergi untuk selamanya. Padahal, sehari sebelum kepulangannya yang abadi, Ibu tergelak karena candaan itu.
“Nin, seminggu lagi kamu wisuda, sebulan kemudian mungkin kamu akan menemukan hidupmu yang baru, lalu meninggalkan Ibu.”
“Maksud Ibu?”
“Ah, kamu, pura-pura tidak tahu. Ibu merestuimu kok. Berbahagialah, Ananda,” Ibu tersenyum kecil.
Dari mataku menetes air bening yang asin. Kuseka dengan ujung jemari yang lunglai. Aku lemas. Inikah isyarat yang ditunjukkan Ibu beberapa bulan lalu. Andai masih ada Ibu, aku akan bertanya, “Di manakah letak keadilan, Ibu? Bukankah Ibu tahu, aku tak suka dengan semua ini.”
Nasi sudah jadi bubur. Satu jam kemudian, aku keluar kamar. Kutemukan Bapak sedang tersenyum sendirian sambil memegang gagang telepon. Belum sempat aku membuka percakapan, Bapak lebih dulu berbicara, “Sudah Bapak jawab ‘iya’ kepada Andra.”
Hatiku benar-benar runtuh. Kaca jendela yang bertabrakan dengan pandangku serasa pecah berkeping-keping. Hancur dan menyatu dengan air mata yang tumpah. Keputusan itu tidak mungkin dibatalkan.
***
“Kamu mencintaiku, Anin?” rangkulan Mas Andra di bahuku mengiringi tanya. Kupegang tangannya, kulepas, dan berbalik arah. Kupalingkan wajahku ke wajahnya yang tangguh.
“Tidak.”
Mas Andra terkejut. Lelaki itu, baru kuketahui ternyata ia pandai menjerat hati. Padahal, sehari sebelum menikah aku hampir belum sadar kalau aku sudah ikut serta dengan keputusan ini; setengah keputusan Bapak, seperempat keputusanku, dan seperempat lagi mungkin keputusan almarhumah Ibu.
“Benar, kamu tidak mencintaiku?”
“Iya, aku tidak benar-benar tidak mencintaimu.”
“Aku beruntung, Bapak mengenalkanku padamu. Ya, itu pun juga karena suamimu ini adalah karyawan teladan di kantor itu. Hehehe...”
“Besok jadi kita pergi, Mas?”
“Kita lihat saja nanti.”
Mendengar jawabannya demikian, aku setengah bahagia setengah kecewa. Bayangkan, sejak menikah belum pernah sekali pun kami pergi ke luar kota, bahkan Bogor yang notabene dekat Jakarta pun tidak. Selama ini, jalan-jalan kami hanya dari mall ke mall. Membosankan.
Aku sering menanyakan hal itu, tentang suamiku yang tidak pernah mengajak ke luar kota. Padahal, untuk urusan kantor ia sering sekali ke sana, luar pulau bahkan. Semua ini terlalu aneh di mataku. Alasan-alasannya abu-abu di pikiran. Maka, aku perlu menyelidikinya entah pada suatu kapan.
***
“Iya, tapi aku tidak bisa,” intonasinya penuh tekanan.
“Aku tidak mungkin membatalkannya, Mas. Tidak enak.”
Om Jay, adik laki-laki Bapak, besok lusa akan menikahkan putrinya di Kota Pelajar, Yogyakarta. Lagi-lagi, Mas Andra mengulang kebiasaannya: menolak kepergian kami ke luar kota. Entah ini yang ke berapa. Tak terhitung.
“Kenapa?”
“Aku harus menemui klien.”
“Ditunda masa’ tidak bisa?”
“Sudah kubilang tidak bisa! Kamu pergi saja dengan Eliana, sampaikan salamku untuk semua. Maaf, aku benar-benar tidak bisa datang.”
“Tapi, Mas...”
“Pergilah besok pagi, aku mengizinkanmu, Anin,” nada suaranya yang tinggi mulai merendah.
Suasana dingin. Aku kecewa. Baiklah, aku tetap pergi meskipun tanpa Mas Andra. Yang jadi masalah sekarang adalah bagaimana harus kujawab semisal ada pertanyaan dari keluarga besar. Entah.
***
Taman kota, sore. Semilir angin menerbangkan dedaunan kering. Sengaja, aku mengajaknya untuk berbincang berdua saja. Anakku, yang kini berusia dua tahun, kutinggalkan dengan pembantu di rumah. Kami memilih duduk di dua bangku panjang yang letaknya berhadapan.
“Tumben, kamu mengajakku ke sini. Biasanya tidak tanggung-tanggung, ke Bandung, ke Yogyakarta, ke Bali... Eh sekarang malah ke taman.”
Mas Andra sepertinya mencium akan ada sesuatu yang terjadi di sini. Wajahku mulai pahit dan teduh. Air mata hampir keluar dari tempat penjagaan. Aku tidak boleh menangis. Aku harus tegar.
“Lho, kok diam?” aku bingung harus memulainya dari mana. Terlalu banyak yang bersesakan di pikiranku.
“Mas masih ingat Mbak Rima, tetangga kita dulu?”
“Ya.”
“Jemputlah Mbak Rima yang lainnya. Aku ikhlas.”
“Maksudmu?”
Aku menyebutkan nama seorang perempuan, Mbak Rima. Dengan tiga anaknya yang masih kecil-kecil, ia hidup mencari nafkah sendiri. Tanpa seorang suami. Ia tidak tahu ke mana suaminya pergi. Setelah berpamitan ke kota, tidak pernah kembali lagi. Maka ia memutuskan untuk ke ibukota juga.
“Putra-putrimu menunggu di sudut kota kecil itu. Pergilah. Aku akan membesarkan Salwa di sini.”
Aku menunduk, tak kuasa menahan tangis. Tisu yang awalnya kupaksa untuk tidak keluar dari tas, dipakai juga. Aku sesengukan. Tapi Mas Andra diam saja.
“Kenapa tidak jujur? Aku sudah menangkap ada yang aneh denganmu, Mas. Semuanya sudah terlanjur. Aku kecewa, sangat kecewa!! Tidak habis pikir kenapa kamu setega itu!”
Mas Andra menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya yang lebar. Letak duduk kami sama sekali tidak berubah. Aku tetap berusaha menguasai diri.
“Jawab, Mas, jawab! Ternyata kamu pengecut, lari dari kenyataan,” aku makin menantang dengan ribuan pertanyaan yang belum seluruhnya terkatakan.
“Nama-nama orang yang kamu sebut dalam igau itu nama mereka ‘kan? Nama istrimu, nama anak-anakmu. Aku sudah bertemu dengan mereka. Aku tidak marah, hanya kecewa denganmu.”
“Ya, aku mengaku salah. Aku minta maaf. Sudah lama aku ingin jujur, tapi bibir ini menolak. Biarlah kamu yang menemukan alasan sebenarnya.”
“Ya, sekarang aku sudah tahu. Besok ceraikan aku, kembalilah pada mereka.”
Senja mulai meremang. Sesekali kepak burung sore terdengar, tapi tak seceria biasanya. Kami beriringan berjalan kaki menuju rumah. Jarak antara rumah dengan taman tidaklah terlalu jauh, namun cukup bagi Mas Andra untuk bercerita tentang semuanya. Tentang lamarannya padaku yang sebenarnya merupakan keinginan Bapak sehingga tidak ada pilihan lain selain mengiyakannya. Benar, enam bulan pascapernikahan, Bapak menyusul Ibu.
Isyarat, adakah yang bisa kubaca dari segala kesepian dan kebisuan itu? Ya, waktu terlalu baik untuk mengungkap segalanya. Aku percaya.
-SELESAI-
Catatan:
Alhamdulillah, cerpen ini dimuat di Majalah Sekar Edisi 55/11 20 April-4 Mei 2011. Semoga menambah semangat dalam menoreh karya. Amiin.. ^^
Free Template Blogger
collection template
Hot Deals
BERITA_wongANteng
SEO
theproperty-developer