Wajah Perempuan Kembang Jepun dalam Dua Bingkai
PENDAHULUAN
Karya sastra lahir sebagai bentuk representasi dari kehidupan manusia dan lingkungan semesta. Maka, tidak heran jika dalam perkembangannya mengalami terobosan baru yang sangat pesat. Tidak dipungkiri pula bahwa dunia sastra Indonesia saat ini semakin diminati banyak pihak karena semakin menyentuh sisi kemanusiaan dan dikemas dengan memberikan kemungkinan pilihan jalan keluar atas masalah kehidupan, apapun itu. Ya, sekali pun sesekali muncul permasalahan bahwa sastra yang dianggap tabu adalah kurang pantas dinikmati.
Namun demikian, peneliti akan mencoba menelisik apa yang ada di dalam sebuah karya sastra yang notabene pernah dianggap tabu. Salah satunya adalah novel Perempuan Kembang Jepun (PKJ) yang lahir dari tangan lentik seorang perempuan sarjana hukum bernama Lan Fang. Kajian ini bertujuan untuk menambah wawasan dan pemahaman yang lebih mendalam mengenai sisi feminis PKJ dengan tidak mengesampingkan struktur sebagai suatu unsur penting dalam karya sastra yang dinikmati masyarakat luas. Semoga bermanfaat.
BINGKAI PERTAMA: STRUKTURAL
“Ayah…?” ulang ibu angkat Higashi. Lalu ia berkata lagi, “Ini origami. Apakah ayah Lestari orang Jepang?” ia bertanya lagi.
“Bukan,” jawab Lestari. “Ayah saya orang Jawa. Dia belajar origami dari orang Jepang ketika dia masih muda. Matsumi namanya…”
“Matsumi?!” perempuan itu tersentak. Matanya yang teduh beriak. Lalu tatapannya memandang Lestari dalam-dalam. (PKJ, hlm. 32)
Cuplikan di atas merupakan dialog antara Lestari dan Matsumi, yang ternyata keduanya memiliki hubungan ibu-anak, setelah berpuluh-puluh tahun tidak berjumpa. Bagian inilah yang akan membawa kita pada kajian struktural yang lebih khusus lagi.
Menurut Abrams, struktural adalah bentuk pendekatan objektif yang memandang karya sastra sebagai sesuatu yang berdiri sendiri dan memiliki dunia sendiri. Mereka merupakan satu kesatuan yang utuh, lengkap, terikat, dan bermakna. Oleh karena itu, yang dikaji oleh teori ini hanyalah unsur intrinsik dengan mengesampingkan unsur lain. Berkaitan dengan hal itu, Teeuw mengungkapkan bahwa pendekatan struktural setidaknya pasti dilakukan oleh peneliti sastra sebelum menuju pada analisis lainnya karena memang merupakan prioritas.
Karya sastra tidak dibentuk secara terpisah, tetapi terjalin dengan unsur lainnya. Atau yang sejak awal kita singgung dengan istilah unsur intrinsik. Dalam perkembangannya, pendekatan struktural dianggap memiliki kelemahan karena telah melepaskan hakikat karya sastra di lain sisi. Mengapa? Karena bagaimana pun juga karya sastra pastilah terpengaruh oleh lingkungan sosial budaya kehidupan masyarakat. Dengan demikian, untuk menghindari hal tersebut, kita pun perlu menganalisisnya dengan pendekatan yang lain. Maka dari itu, dalam kajian ini peneliti juga menggunakan pendekatan feminis yang nantinya akan melengkapi pendekatan struktural.
- Tema
Tema dapat dikatakan pula sebagai persoalan utama yang diungkapkan oleh pengarang dalam sebuah karya sastra. Tema bisa didapat dari keadaan atau motif tertentu dari suatu objek peristiwa atau kejadian, yang bisa diungkapkan secara langsung maupun tidak langsung. Novel PKJ bertemakan pencarian cinta sejati karena tokoh di dalamnya terutama Matsumi selalu terlibat masalah seputar itu. Pada hakikatnya, tetap membutuhkan cinta dan kebersamaan di dalam hidupnya.
“Tetapi aku, meninggalkan istana pasirku karena jatuh cinta kepada seorang laki-laki yang kukira bisa memberikan cinta utuh kepadaku. Aku rela kehilangan istana pasirku karena ingin menghuni rumah sederhana yang kokoh. Aku sama sekali tidak mementingkan gelimang uang yang bisa kudapatkan dengan mudah. Bahkan kutampik mencari seorang danna hanya karena aku ingin menyerahkan seluruh hidup dan masa depanku kepadanya.” (PKJ, hlm. 151)
Pada bagian lain, ada pula kutipan yang memperkuat, diucapkan oleh Matsumi kepada Lestari tentang hubungannya dengan Takeda, lelaki yang kemudian menjadi suaminya, sebagai berikut:
“Tetapi Takeda berbeda. Ia tidak menawarkan sesuatu yang muluk, melainkan memberikan rasa nyaman. Bersamanya aku merasa tenang. Ia justru berkata, ‘Apakah kau siap hidup menderita denganku? Aku tidak berjanji memberimu kemewahan tapi aku juga tidak akan membiarkanmu menderita. Datanglah padaku. Percayalah padaku. Bersandarlah padaku. Akan kuberikan semua yang aku punya, walaupun saat ini aku tidak punya apa-apa. Aku hanya punya diriku. Dan semua yang ada padaku adalah milikmu.’ Indah sekali, bukan? Nyaman sekali, bukan?” (PKJ, hlm. 266)
- Tokoh dan Penokohan
Tokoh utama dalam novel PKJ adalah Tjoa Kim Hwa atau Matsumi, sedangkan tokoh sampingan antara lain Lestari atau Kaguya, Sujono, Sulis, dan Takeda. Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Analisis penokohan dapat ditinjau dari beberapa dimensi seperti ciri-ciri lahiriah yang bisa dilihat secara indra (fisiologis), ciri-ciri atau peranannya dalam kehidupan masyarakat (sosiologis), dan dari latar belakang kejiwaan tokoh seperti keinginan dan perasaannya (psikologis).
1. Tjoa Kim Hwa atau Matsumi
Tokoh Tjoa Kim Hwa atau Matsumi diperkenalkan pengarang sebagai seorang geisha yang cantik, pandai memikat lelaki, berpura-pura menjadi orang Cina, popular, lembut, dan segala pesona keindahan seorang wanita ada padanya.
“Matsumi perempuan tercantik di seluruh Kembang Jepun. Katanya, dia geisha paling popular di negaranya… Ia benar-benar memesona dengan daya tariknya yang eksotis. Ia benar-benar bisa membuat jantung laki-laki berdegup sepuluh kali lebih cepat hanya dengan melihatnya tersenyum. Lirikannya bisa membuat napas laki-laki tersendat menahan berahi.” (PKJ, 176-177)
“Tidak berlebihan bila kukatakan ia sempurna sebagai seorang perempuan. Wajah cantik, tubuh yang terpahat indah, aroma tubuhnya menguap sepanjang hari, kehalusan budi pekerti, kecerdasan, juga rasa seni. Ia pandai bernyanyi dengan suara merdu mendayu, ia pandai menciptakan kata-kata indah di dalam syair, jemari lentiknya gemulai menari di atas dawai shamisen, ia pintar melayani, ia pandai menyenangkan laki-laki, ia benar-benar memanjakan laki-laki dan membuat seorang laki-laki menjadi raja bila bersamanya.” (PKJ, 178)
2. Kaguya atau Lestari
Kaguya adalah nama kecil Lestari yang diberikan oleh Matsumi sebelum ia kembali ke Jepang. Namanya diganti ketika mereka harus berpisah, dan Kaguya ditingal di sebuah klenteng. Kaguya atau Lestari adalah anak Matsumi dan Sujono. Perempuan cantik yang memiliki garis keturunan Jawa dan Jepang ini berjiwa sosial, keibuan, tidak memiliki keinginan untuk menikah, penyayang, santun, mandiri. Berikut kutipannya:
“Lestari tidak menikah. Usianya enam puluh tahun. Tetapi usia senjanya tidak bisa menyembunyikan bayang-bayang kecantikan masa lalu yang terpeta di wajahnya. Matanya bulat indah dengan sepasang alis tebal dan bulu mata lentik, kulitnya kuning halus, hidungnya mancung, bibir tipisnya penuh lekukan yang dalam. Tutur katanya santun dan lemah lembut. Suara keibuannya terdengar empuk dan nyaman di telinga. Karena itu banyak orang heran ia tidak menikah, atau tepatnya tidak mau menikah. ….” (PKJ, hlm. 14)
Sewaktu kecil, Lestari juga pernah menjadi korban pelecehan seksual, namun ia menyimpannya sendiri di lubuk hatinya. Bentuk rasa rindunya yang hebat pada sosok ibu, digambarkan sebagai berikut:
“Kini aku benar-benar menemukan ibuku! Kini aku benar-benar mengadu pada ibuku! Ibu yang benar-benar ikut merasakan sakit, perih, dan lukaku. Bukankah seorang ibu akan tertawa bila anaknya tertawa? Dan ia akan menangis pula bila anaknya menangis. Ternyata tidak ada kata terlambat untuk menangis di hadapan ibu. Setelah berpuluh-puluh tahun, aku bagaikan musafir yang kehausan dan akhirnya mendapatkan sebuah oase: ibu!” (PKJ, hlm. 256)
3. Sujono
Lelaki yang bekerja sebagai kuli ini memiliki dua istri, Sulis dan Matsumi yang seorang geisha. Sujono berperangai kasar, malas bekerja, sangat tergila-gila pada Matsumi, pencemburu, egois, suka menggoda perempuan, suka mabuk.
“Aku suka menggoda perempuan karena ia memberi peluang untuk digoda, Aku memanfaatkannya agar aku bisa minum jamu dengan berutang, yang buntut-buntutnya tidak pernah kubayar. Aku suka menyentuhnya karena ia member kesempatan untuk kusentuh. …” (PKJ, hlm. 183)
Pendeskripsian fisik Sujono digambarkan oleh tokoh Sulis, dalam kutipan berikut:
“Tubuh Mas Sujono tinggi dan kurus kerempeng. Bahunya sempit dan menurun. Dadanya tipis. Cekung matanya dalam dengan lipatan yang lebar. Hidungnya tinggi, dan bibirnya sangat tipis.
Orang Jawa bilang, bibir tipis sebaiknya dimiliki perempuan. Wajah perempuan jadi lebih manis dengan bibir tipis karena akan lebih kenes dan kemayu. Apalagi kalau sedang mencep (mencibir) atau bergaya mencucu (manyun). Bibir tipis juga lebih pantas dimiliki perempuan karena konon sang empunya bibir tipis lebih ceriwis tapi menggemaskan! Tetapi bagaimana bila bibir tipis ini dimiliki laki-laki?” (PKJ, hlm. 36-37)
4. Sulis
Istri pertama Sujono, genit, cerewet, suka menuntut, berprofesi sebagai penjual jamu gendong, berpenampilan menggoda, berperangai kasar.
“Puih! Aku muak mendengar kata-kata yang keluar dari mulutnya. Aku benci melihat bahasa tubuhnya, bahasa wajahnya, bahasa matanya. Seperti itulah perempuan yang kukawini. Ia benar-benar kurasakan seperti monster yang memakai istilah “tanggung jawab” untuk merongrongku. Ia kasar, serakah, ambisius, dan tidak nasionalis! Tapi ia juga sangat cerdik memanfaatkan situasi untuk membebaniku “tanggung jawab terhadap anak”. Ia benar-benar menyiksaku di balik tameng “tanggung jawab”! Bah!” (PKJ, 189)
Cuplikan di atas merupakan ungkapan hati kekesalan Sujono kepada Sulis. Sebelumnya pun, Sujono sudah merasa bahwa Sulit minta dinikahi oleh Sujono, hanya karena untuk menutupi aib Sulis dan Wandi, yang berhubungan gelap.
“Sejak kecil aku tidak pernah bermain karena dibebani seluruh pekerjaan rumah tangga. Jika aku tidak menyapu lantai atau merebus air, aku tidak mendapatkan nasi. Aku kelaparan karena hanya bisa makan bila Ayah sudah pulang bekerja dari pelabuhan. Cubitan, pukulan, jambakan, dan pantat piring seng yang dipukulkannya ke mulutku, itulah makananku sehari-hari. Lalu darah asin yang mengalir di sudut bibirku terkecap pelan-pelan seperti menikmati nasi putih dengan kecap manis karena tidak ada lauk lain untuk makan. Tidak lagi terasa perih, sakit, atau ngilu. Lebih giris ketika ia menyebutku “lonte kecil”. (PKJ, hlm. 245)
c. Alur
Alur merupakan keseluruhan rangkaian peristiwa yang terdapat dalam cerita, yang bersifat logis dan kronologis, sehinggga saling berkaitan satu sama lain. Alur novel PKJ menggunakan alur maju mundur (flashback) karena cerita berkembang tidak secara berurutan dari awal sampai akhir, yang mengisahkan perjalanan tokoh-tokohnya.
d. Latar
Latar adalah keterangan yang diberikan pengarang, yang berkaitan dengan waktu, ruang atau tempat dan suasana terjadinya peristiwa dalam karya sastra.
1. Latar Tempat
Novel PKJ mengambil latar di beberapa tempat atau daerah. Tidak hanya di Surabaya terutama Kembang Jepun, tetapi juga di Kyoto. Berikut kutipan-kutipannya:
“Langit tampak kusam dan awan kelihatan pucat ketika aku menginjakkan kaki di Surabaya. Aku sendiri merasa selusuh angin yang terasa garing menerpa kulit wajahku. Turun dari kapal di Pelabuhan Tanjung Perak, aku merasa lega, setidaknya aku tidak terombang-ambing lagi.” (PKJ, hlm. 87)
“Kaguya, sering datanglah ke Kyoto menjengukku. Aku akan selalu merindukanmu,” begitu kata Okasan dengan lembut.” (PKJ, hlm. 279)
Kutipan di atas merupakan salah satu dialog antara Kaguya atau Lestari dengan ibunya (Okasan) yakni Matsumi saat Kaguya dan Maya berkunjung ke rumah Matsumi.
2. Latar Waktu
Dalam novel PKJ, waktu terjadinya peristiwa antara tahun 1941 sampai dengan Februari 2004, yang ditunjukkan oleh prolog dan epilog novel, serta peristiwa-peristiwa yang digambarkan penulis.
“Akhirnya Maya dan Higashi menikah di Surabaya pada awal Desember 2003. Aku hanya mengadakan pesta kecil yang sederhana di ruang tengah panti asuhan.” (PKJ, hlm. 231)
“Negara ini baru saja merdeka. Tetapi situasi masih tetap sesulit dulu. Bahkan belum ada kegiatan yang berarti. Semua masih menunggu apa yang akan dilakukan pemerintah baru.” (PKJ, hlm. 213)
BINGKAI KEDUA: FEMINIS
Feminisme termasuk dalam postsrukturalisme atau gerakan modern yang lahir pada awal abad ke-20 yang dipelopori oleh Virginia Woolf. Feminis bertujuan mewujudkan keseimbangan dan kesetaraan gender. Kaumnya menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh budaya dominan di dalam segala bidang. Dalam hubungan inilah, teori feminis memberikan jalan tengah untuk menemukan keseimbangan agar kedua pihak memperoleh makna yang sesuai dalam masyarakat.
Contoh dominasi laki-laki atas wanita dapat dilihat dalam karya sastra baik sastra lama maupun sastra modern. Misalnya, menempatkan tokoh wanita yang hanya berfungsi sebagai pembantu, pelayan, pengganti atau alternatif kaum laki-laki yang lebih kuat. Meskipun demikian, hadir pula karya sastra yang mendobrak hal itu, sekalipun ditulis oleh seorang pengarang laki-laki, seperti Layar Terkembang oleh Sutan Takdir Alisyahbana. Dengan demikian, para pengarang, khususnya pengarang perempuan memiliki fungsi dan obsesi untuk menampilkan tuntutannya agar kehadirannya bermakna dalam masyarakat.
Novel PKJ merupakan salah satu karya Lan Fang yang mengangkat masalah perempuan di pusat hiburan Kembang Jepun di Surabaya pada era 1940-an. Tokoh yang menemui banyak masalah dalam perjalanan hidupnya adalah tokoh perempuan, seperti yang dialami oleh Matsumi, Lestari, dan Sulis. Masalah-masalah tersebut bisa dikaji dengan pendekatan feminisme, yakni dengan melihat bagaimana hubungan tokoh wanita dengan tokoh-tokoh lain baik tokoh laki-laki maupun tokoh wanita. Selain itu, juga dapat dilihat dari perwatakan, pandangan, tingkah laku, dan kehidupan mereka di dalam cerita. Berikut ini akan disajikan pemaparannya.
- Ketimpangan atau Ketidakadilan Sosial terhadap Kaum Wanita
Ketimpangan sosial terjadi pada kaum wanita karena banyak menganggap bahwa memang sudah seharusnya wanita demikian. Ia tidak berhak bermimpi tinggi tentang masa depannya, mengutarakan keinginannya, dan sebagainya. Cuplikan di bawah merupakan ungkapan hati Sulis:
“Kenapa laki-laki ini begitu culas? Hatiku terasa sakit. Ia menikmati tubuhku bulat-bulat. Memang aku juga menikmatinya. Kami melakukannya suka sama suka. Bahkan aku merasa lebih bergairah bila bersamanya daripada bersama Mas Wandi yang menurutku mulai klemer-klemer. Ia juga berutang jamu padaku. Ia juga tak pernah membayar satu sen pun untuk segelas jamunya ataupun untuk menggeluti tubuhku. Ia memanfaatkanku untuk mendapatkan kenikmatan. Lalu sekarang ia ingin mencuci tangannya bersih-bersih? Oh…jangan harap. Tidak semudah itu!” (PKJ, hlm. 60)
Matsumi memiliki kakak laki-laki yang selalu mencibir dirinya yang seorang perempuan.
“Biasanya kakak-kakakku akan mencibir. Mencemooh impianku. ‘Kau akan jadi pelayan sang putri di dalam istana pasir itu!’ Lalu mereka tertawa terbahak-bahak dan melempariku dengan ikan-ikan busuk yang sudah dipinggirkan.” (PKJ, hlm. 100)
- Adanya Subordinasi Kaum Laki-Laki terhadap Kaum Wanita
Kaum wanita kurang diberikan kebebasan dibandingkan laki-laki sehingga terdapat aturan-aturan yang dikhususkan bagi wanita. Sementara tidak berlaku sedikit pun bagi laki-laki.
“Perempuan Jepang sangat menghormati laki-laki Jepang. Kami tidak pernah berani menentang mata mereka. Kami menunduk dan membungkuk. Mata kami cuma memandang debu di ujung kaki. Kalaupun kami memandang para lelaki, kami akan memandangnya sembunyi-sembunyi melalui lengan kimono kami yang lebar.” (PKJ, hlm. 93-94)
Meskipun tidak disepakati secara lisan, namun aturan-aturan bagi wanita itu secara tidak langsung sudah terbentuk dalam masyarakat. Dan masyarakat memahaminya sebagai suatu bentuk norma yang wajib dipatuhi, seperti yang Matsumi lakukan dalam cuplikan berikut:
“Shosho Kobayashi sendiri adalah laki-laki yang tidak pernah berbicara banyak kepadaku. Tetapi perempuan Jepang memang tidak boleh terlalu banyak tahu urusan laki-laki.” (PKJ, hlm. 99)
Dalam budaya patriarkhat, anak laki-laki cenderung diharapkan dibandingkan anak perempuan. Hal itu pula yang dialami oleh Matsumi.
“Ayah dan ibuku memiliki sepuluh anak. Aku anak kedelapan dan merupakan anak perempuan terkecil. Anak pertama sampai kelima perempuan. Ayahku menginginkan banyak anak laki-laki supaya dapat meneruskan marganya, memelihara abunya bila ia dan ibuku telah meninggal, juga dapat membantunya menjala ikan lalu memberinya warisan sebuah perahu butut untuk menjadi nelayan.” (PKJ, hlm. 100)
Wanita yang sudah memiliki anak dianggap sudah tidak cantik lagi dibandingkan kegagahan seorang laki-laki yang sudah memiliki anak. Seperti yang diungkapkan oleh Sujono kepada Matsumi setelah melahirkan Kaguya.
“Matamu menggoda. Matamu jalang! Tidakkah kau sadar sekarang kau bukan si Bunga Emas lagi? Kau sudah menjadi istriku. Kau sudah tua. Kau hamil. Tubuhmu tidak seindah dulu. Kau tidak akan laku lagi walaupun memandang laki-laki dengan matamu yang merayu…” (PKJ, hlm. 147)
- Perlawanan terhadap Citra Wanita yang Selalu Dianggap Lemah
Wanita terkadang dihadapkan pada keadaan bahwa ia berada jauh di bawah laki-laki. Sebagai seorang geisha, Matsumi melakukan perlawanan dengan memanfaatkan kelemahan laki-laki demi kepentingan ekonomi.
”Aku di sana menjadi primadona, sehingga tarifku menjadi mahal. Aku sangat memilih tamu yang akan kutemani. Kepada tamu-tamu yang biasa, aku hanya menemani minum sake, menyanyi dan memainkan shamisen. Tetapi kepada tamu-tamu penting, terutama tamu-tamu yang dibawa Shosho Kobayashi, aku harus memberikan pelayanan lebih. Sudah tentu aku juga mendapatkan imbalan lebih pula.” (PKJ, hlm. 131)
Berbeda dengan Matsumi, Sulis, seorang penjual jamu gendong pun memahami letak kelemahan para lelaki. Berikut kutipannya:
“Lalu para lelaki itu bak tawon mengerubungi bunga. Mereka berebut duduk di samping atau di depanku. Pokoknya berusaha sedekat mungkin denganku. Sambil minum jamu, mereka berusaha menyentuh lenganku, mengintip dadaku, mencolek pahaku. Semakin lama aku mengerti itu pertanda mereka menginginkanku.” (PKJ, 44)
- Adanya Kekerasan baik Fisik, Psikologis, maupun Seksual
Wanita dianggap selalu mengalah dan tidak berani melawan. Hal itu merupakan konsekuensi bahwa wanita pada dasarnya lemah dan manusia kedua setelah lelaki. Maka, dalam cuplikan-cuplikan berikut ditampilkan wanita menerima kekerasan fisik yang begitu sakit, kekerasan psikologis yang membuat traumatis, serta kekerasan seksual.
“Mereka menggagahi perempuan-perempuan di sana dengan penuh nafsu. Seorang perempuan harus digilir sepuluh sampai lima belas tentara Jepang karena jumlah tentara Jepang sangat banyak. Mereka tidak dibayar. Dan mereka juga tidak berani meminta bayaran. Bukannya uang yang mereka dapatkan, tapi mereka diludahi, dimaki, ditempelengi, dijambak, bahkan diinjak-injak. Tidak ada hari libur dan jam istirahat untuk mereka. Bahkan dalam keadaan haid pun, mereka tetap dipaksa mengangkangkan selangkangan.” (PKJ, 113)
“Mas Sujono selalu menganggapku merongrongnya. Ia selalu mengatakan aku meminta terlalu banyak dan terlalu menuntut di luar kemampuannya. Tetapi apakah aku salah, bila aku meminta uang belanja untuk menyuapi mulut anak kami?” (PKJ, hlm. 39)
- Memperlihatkan Karakteristik Keperempuanan
Pada dasarnya wanita tumbuh sebagai manusia yang lemah lembut dan hati-hati. Inilah yang sering dijadikan sebab bahwa wanita tidak bisa berbuat apa-apa. Tokoh Sulis, awalnya adalah seorang wanita yang tetap pada kodratnya. Ia pemalu dan sungkan terhadap laki-laki.
“Sebagai seorang perempuan kinyis-kinyis yang belum pernah bersentuhan dengan laki-laki, mulanya aku merasa kikuk, malu, dan jengah.” (PKJ, hlm. 42)
“Aku tidak tahu benih siapa yang membuahiku. Kalau akhirnya aku memilih Mas Sujono untuk mengawiniku, itu bukan semata-mata karena aku yakin benih ini miliknya, tapi juga aku malu jika harus mempunyai suami seusia ayahku. Alasan lainnya, aku tidak mau menjadi istri kedua Mas Wandi dan hidup dengan berbagi penghasilan yang apa adanya.” (PKJ, hlm. 56)
Namun, setelah ia mengenal lelaki dan kerasnya hidup, ia berubah. Namun demikian, ia tetap membutuhkan rasa aman dengan menyelamatkan dirinya ketika ia tahu ia hamil, dan harus memutuskan harus menikah dengan Sujono.
“Aku akan jadi perempuan tidak laku! Aku akan mempunyai anak haram! Aku akan semakin melarat karena harus menghidupi seorang anak tanpa bapak! Aku akan menjadi gunjingan setiap perempuan di kamar petak! Oh, Gusti…!” (PKJ, hlm. 58)
Wanita juga selalu ingin tampak cantik, rapi, dan menarik. Bagaimana pun situasinya. Di bawah ini kutipan dari Matsumi kecil tentang keinginannya menjadi seorang putri cantik.
“Hatiku selalu melambung mendengar pujian Ibu. Benakku selalu dipenuhi angan bahwa aku akan menjadi putri cantik dengan kimono sutra berwarna cerah, rambut yang disanggul indah, dan wangi di seluruh tubuhku.” (PKJ, hlm. 100)
KESIMPULAN
Dari paparan analisis singkat ini, dapat disimpulkan bahwa novel Perempuan Kembang Jepun (PKJ) karya Lan Fang ini memiliki latar belakang yangn lekat sekali dengan perempuan dan Jepang. Selain itu, memiliki banyak sekali sisi feminis, seperti ketimpangan atau ketidakadilan sosial terhadap kaum wanita, adanya subordinasi kaum laki-laki terhadap kaum wanita, perlawanan terhadap citra wanita yang selalu dianggap lemah, adanya kekerasan baik fisik, psikologis, maupun seksual, dan memperlihatkan karakteristik keperempuanan.
DAFTAR PUSTAKA
Fang, Lan. 2007. Perempuan Kembang Jepun. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tim Estetika FBS UNJ. 2008. Estetika Sastra, Seni, dan Budaya. Jakarta: UNJ Press.