Halaman

Sabtu, 11 Juni 2011

Namaku Teweraut: Struktur Sosial dan Budaya

PENDAHULUAN


Karya sastra lahir sebagai bentuk representasi dari kehidupan manusia dan lingkungan semesta. Maka, tidak heran jika dalam perkembangannya mengalami terobosan baru yang sangat pesat. Tidak dipungkiri pula bahwa dunia sastra Indonesia saat ini semakin diminati banyak pihak karena semakin menyentuh sisi kemanusiaan dan dikemas dengan memberikan kemungkinan pilihan jalan keluar atas masalah kehidupan, apapun itu. Ya, sekali pun sesekali muncul permasalahan bahwa sastra yang dianggap tabu adalah kurang pantas dinikmati.
Namun demikian, peneliti akan mencoba menelisik apa yang ada di dalam sebuah karya sastra. Salah satunya adalah novel Namaku Teweraut (NT) yang lahir dari tangan lentik seorang perempuan bernama Ani Sekarningsih. Kajian ini bertujuan untuk menambah wawasan dan pemahaman yang lebih mendalam mengenai stuktur sosial dan budaya NT  dengan tidak mengesampingkan struktur sebagai suatu unsur penting dalam karya sastra yang dinikmati masyarakat luas. Semoga bermanfaat.
Novel NT ini merupakan salah satu karya sastra Indonesia kontemporer yang kental dengan aspek-aspek antropologis. NT berhasil memperoleh penghargaan Hadiah Sastra Buku Utama Tahun 2002 dari  Menteri Pendidikan Nasional. Ada hal menarik yang membuat seorang Ani Sekarningsih menulis novel dengan latar Asmat Papua tersebut. Faktor pernah hidup dan pernah mengabdi di Asmat Papua selama beberapa lama membuat Ani merasa tersentuh untuk merekam keeksotisan budaya dan perilaku masyarakat Asmat dalam bentuk fiksi tersebut.
Novel ini bercerita tentang kisah perempuan Asmat yang bernama Teweraut dari lahir sampai meninggalnya, sebuah cerita yang memang khas dengan pengertian roman. Banyak dijumpai hal-hal yang menarik dalam roman ini, mulai dari budaya dan perilaku masyarakat Asmat yang sampai sekarang masih dianut dan perjumpaan budaya lokal Asmat dengan budaya modern luar.

STRUKTURAL
Menurut Abrams, struktural adalah bentuk pendekatan objektif yang memandang karya sastra sebagai sesuatu yang berdiri sendiri dan memiliki dunia sendiri. Mereka merupakan satu kesatuan yang utuh, lengkap, terikat, dan bermakna. Oleh karena itu, yang dikaji oleh teori ini hanyalah unsur intrinsik dengan mengesampingkan unsur lain. Berkaitan dengan hal itu, Teeuw mengungkapkan bahwa pendekatan struktural setidaknya pasti dilakukan oleh peneliti sastra sebelum menuju pada analisis lainnya karena memang merupakan prioritas.
Karya sastra tidak dibentuk secara terpisah, tetapi terjalin dengan unsur lainnya. Atau yang sejak awal kita singgung dengan istilah unsur intrinsik. Dalam perkembangannya, pendekatan struktural dianggap memiliki kelemahan karena telah melepaskan hakikat karya sastra di lain sisi. Mengapa? Karena bagaimana pun juga karya sastra pastilah terpengaruh oleh lingkungan sosial budaya kehidupan masyarakat.
  1. Tema
Novel NT bertema perjuangan perempuan. Perjuangan seorang perempuan Asmat demi kemajuan pendidikan dan hal lainnya bagi masyarakatnya.
  1. Tokoh dan Penokohan
Konsep penokohan terdiri dari tiga dimensi analisis, yaitu fisiologis, sosiologis, dan psikologis. Fisiologis meliputi ciri-ciri lahiriah misalnya umur, jenis kelamin, keadaan tubuh,  ciri-ciri badani, ciri-ciri muka dan lain-lain.  Sosiologis meliputi ciri-ciri kehidupan masyarakat, misalnya, status sosial, pekerjaan, jabatan, pandangan hidup, agama, kepercayaan, dan lainnya. Psikologis meliputi latar belakang kejiwaan tokoh, misalnya, mentalitas, keinginan, perasaan pribadi, sikap, perilaku, kecerdasan, dan lainnya. Pada analisis kali ini, hanya akan dianalisis tiga tokoh yang sering muncul dalam cerita yakni Teweraut, Mama Rin, dan Akatpits.
1.      Teweraut
Teweraut adalah perempuan suku Asmat dengan usia lima belas tahun dengan tinggi sekitar 155 cm dan berat 42 kg, lulusan Sekolah Dasar dan pernah bersekolah di Sekolah Kesejahteraan Keluarga walaupun hanya delapan bulan, anak orang terpandang di sukunya, pemalu, kekanak-kanakan, bangga terhadap sukunya. Berikut kutipannya:
“nDiwiku adalah orang yang terpandang;kondang sebagai mantan panglima perang pada zamannya. Beliau juga ketua klen yang turut mengurusi dan menetapkan setiap jenis upacara ritus, disamping mengurusi hukum dan pemerintahan adat, sehingga beliau masih mendapat jabatan lain sebagai penasehat adat di rumah adat. (NT, hlm. 11)

Selain itu, juga terdapat pada bagian di bawah ini:
“Begitulah, nama panggilanTeweraut sejak awal kukenakan untuk seterusnya, tanpa harus disamarkan dengan nama panggilan lain yang didorong kekhawatiran, bahwa dalam usia balita seorang anak yang masih berpredikat anak roh akan mencari ibu rohnya. Aku juga punya perasaan bangga dengan nama yang menunjuk asal daerahku, walau banyak yang tidak begitu sebenarnya. …” (NT, hlm. 5)


2.      Mama Rin
Berkulit cerah, berambut hitam, perempuan keturunan Jawa priyayi, berdomisili di Jakarta, berpendidikan, sangat tertarik dengan budaya Asmat, memiliki rasa keingintahuan yang tinggi,  mudah bersosialisasi dengan masyarakat Asmat. Dipaparkan dalam kutipan berikut:
“Pengalaman singkat itu menawarkan rangsangan dan gairah Rin untuk menambang pengetahuan, guna lebih memahami orang Asmat. Sejak saat itu beberapa kali ia mengunjungi tempat mereka tinggal, selama keberadaan rombongan kesenian itu di ibukota dan mewawancarai peri kehidupan mereka.” (NT, hlm. 22)
Mama Rin juga memiliki sikap perhatian, berikut ini kutipannya:
“Setiap malam Mama merasa perlu berkeliling, mendatangi kamar masing-masing. Mengecek kebersihan sebelum naik ke tempat tidur. Tubuh siapa yang masih bercoreng kapur, tanah merah, dan jelaga, ditungguinya harus mandi dulu. Praktis kami baru siap tidur pukul 00.30 tengah malam. Ada juga beberapa di antara kami yang tidak segera mau menerima untuk tunduk mematuhi aturan-aturan yang telah ditetapkan. Mama Rin menunggui dengan tegas sampai merasa pasti kami semua membersihkan hiasan-hiasan itu dan segera tidur.” (NT, hlm. 22)

3.      Akatpits
“Suasana demikian itulah yang telah merangsang semangat Akatpits untuk mengambil keputusan bekerja di pelabuhan. Ia seolah-olah merasa ditantang untuk memerangi takdir. Hanya pendatangkah yang berpotensi membangun dibanding putra daerah?” (NT, hlm. 238)
Akatpits merupakan suami Teweraut, gagah, kuat, disegani masyarakat Asmat, aktif, mudah bergaul, ramah, dan pemberani.
“Akatpits adalah kepala dusun di cabang sungai besar arah matahari terbit. Sudah beberapa kali dengan tak sengaja aku berkesempatan menangkap kehadirannya bersama kelompok-kelompok dusun. Wajahnya kukuh membayangkan intelejensi tinggi dengan sepasang bola mata yang memancar dari kelopak mata yang cekung. Bentuk tubuhnya boleh dibilang punya penampilan sesuai impianku. Memiliki dada kuat dan kekar, walau sebaliknya bagian tubuh ke bawah tidak berkembang, karena lebih banyak berdayung disbanding berjalan. …” (NT, hlm. 62)

  1. Alur
Alur merupakan keseluruhan rangkaian peristiwa yang terdapat dalam cerita, yang bersifat logis dan kronologis, sehinggga saling berkaitan satu sama lain. Alur novel NT menggunakan alur maju karena cerita berkembang secara berurutan dari awal sampai akhir, yakni mengisahkan perjalanan seorang Teweraut.
  1. Latar
Latar adalah keterangan yang diberikan pengarang, yang berkaitan dengan waktu, ruang atau tempat dan suasana terjadinya peristiwa dalam karya sastra.
1.      Latar Tempat
Novel NT mengambil latar di banyak tempat atau daerah. Tidak hanya di suku Asmat, tetapi juga di Jakarta, Merauke, London, Amsterdam, Paris, New York. Berikut kutipan-kutipannya:
“Ewer, tempatku tinggal, berada di tepi Sungai Pek yang bermuara di Sungai Asuwet. Bukan desa biasa seperti kebanyakannya. Di sana terdapat landasan pacu yang dirintis para misionaris, jauh sebelum aku lahir. Menurut seorang suster senior yang mendiami biara di desaku sekaligus pemandu penerbangan, untuk keperluan pengadaan landsan pacu itu telah dikerahkan banyak lelaku desa meninggikan tanah rawa, Sehingga cukup kukuh dan lebih kering untuk didarati pesawat berpenumpang empat walau tak sebutir kerikil apalagi batu pun ditemui intuk memadatkan wilayah itu.” (NT, hlm. 8)
“Tanpa istirahat yang berarti, setelah perjalanan 5 jam dengan kereta Amsterdam-Paris, langsung kami diantar menuju penginapan, meletakkan tas pakaian kemudian bergegas lagi ke gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa.” (NT, hlm. 122)


2.      Latar Waktu
Dalam novel NT, tidak disebutkan secara jelas waktu terjadinya peristiwa. Namun demikian, terjadi antara tahun  1980-an sampai tahun 2000-an.
“Hal itu juga didorong oleh pengetahuan sejarah. Coba perhatikan ribuan tahun sebelum masehi, orang Mesir telah mengenal keindahan. Berpakaian pantas dan mengenakan perhiasan yang terbuat daripada logam emas, Sementara banyak tatanan kehidupan masyarakat terpencil di Irian Jaya pada tahun 2000 ini, terlupakan orang.” Mama terkendali berpidato panjang. (NT, hlm. 124)

3.      Latar Sosial
Latar sosial yang dikisahkan dalam novel NT yakni berupa adat istiadat, pemakaian bahasa, tradisi, cara berpikir dan bersikap. Terdapat pula tradisi lokal seperti kawin lari, melanggar batas daerah selama bepergian, pergi ke dukun (nDamero) untuk menelisik penyebab kematian, ritual ketika berduka cita, dan sebagainya.
“Perjalanan seharian mendayung dalam keadaan hamil tua rupanya membuatku letih. Sepanjang tulang punggung kurasa pegal-pegal. Aku menyimak kisah itu sambil mencoba berbaring lurus mengurangi rasa ngilu dan melapangkan ganjalan perut yang menyulistkan pernapasan; melihati nDamero Jamenam berkisah, duduk mencangkung memandangi tarian lidah-lidah api sambil memakan sisa karaka yang kubawakan untuknya. Aku cepat tertidur. Tidak sempat menangkap kelanjutan cerita nDamero tentang masa lalu Akatpits.” (NT, hlm. 257-258)
                                       
SOSIAL DAN BUDAYA
Asmat merupakan salah satu nama suku yang terdapat di wilayah Papua. Hutannya sangat berpotensi bagi kehidupan. Struktur kepemimpinan sosial yang berlaku di Asmat ada dua yakni kepemimpinan yang berasal dari unsur pemerintah, dan yang kedua berupa kepala ada atau kepala suku yang berasal dari masyarakat. Kepemimpinan yang kedua inilah yang sangat berpengaruh di lingkungan karean sering dilakukannya upacara adat yang bersifat tradisional.
Dalam kehidupan sehari-hari, mayoritas masyarakat Asmat masih menerapkan pola hidup yang masih primitif dan sederhana dengan mengumpulkan makanan yang berasal dari hasil hutan. Mereka juga merasa gelisah ketika dihadapkan dengan kemodernan di hadapannya.
“Tetapi satu hal mereka lupa, bahwa memperkenalkan nilai-nilai baru menuntut pula peningkatan kualitas SDM-nya, juga pendapatan ekonomi pasar yang tepat dan mudah dipahami masyarakatku. Padahal sampai saat ini mereka masih terbiasa dengan perolehan yang hanya cukup memenuhi keperluan hari ini. Esok adalah milik masa depan yang pantas diperjuangkan besok juga. Mengapa harus repot-repot memikirkan hari esok, sedangkan hari ini saja belum berlalu?” (NT, hlm 202)

Seiring dengan waktu, Asmat mulai dihadapkan pada gempuran budaya sehingga juga menyulitkan mereka melakukan penyesuaian secara wajar. Namun demikian, mereka tetap menghargai dan menjunjung tinggi budaya asli leluhur yang dipercayainya.
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan di atas, dapat disimpulkan bahwa novel Namaku Teweraut karya Ani Sekarningsih sangat kental dengan aspek budaya suku Asmat. Sebagai sebuah karya sastra, untuk menelaahnya lebih lanjut, kita bisa memahaminya terlebih dahulu dengan adanya unsur structural di dalamnya. Hal itu agar karya sastra memiliki nilai lebih bagi masyarakat bahwa sebuah karya sastra adalah suatu keutuhan yang bermakna.

DAFTAR PUSTAKA
Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sekarningsih, Ani. 2000. Namaku Teweraut. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Tim Estetika FBS UNJ. 2008. Estetika Sastra, Seni, dan Budaya. Jakarta: UNJ Press.





Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 komentar: