Awan hitam kian menebal. Jendela hening menjemput malam. Mulai dingin dan tak acuh. Sepi. Seorang balita perempuan berusia sekitar dua tahun terdiam. Dipeluknya majalah bersampul perempuan yang manis dengan kerudung. Katanya, sembari mengeja luka, “Mama…”
Arrrgghh…anak itu masih memanggilnya mama. Tahu apa dia deskripsi tentang mama. Luka. Hanya luka. Anak itu tidak tahu betapa mamanya “mencintainya” hingga ia diberi kesempatan penuh untuk hidup hanya bersama sang bapak tercinta. Ya, balita perempuan itulah anakku, Nabila Kesya namanya.
***
Adinda. Aku mengenalnya tiga tahun sebelum aku memutuskan untuk menikahinya. Usia kami terpaut cukup jauh. Sepuluh tahun! Tapi, kupikir itu bukanlah alasan yang cukup baik baginya untuk menolakku sebagai calon suaminya. Gadis manis, berperawakan tinggi langsing, berkulit kuning langsat, berlesung pipi. Aduhai cantiknya, apalagi dibalut kerudung jingga yang ketika itu pertama kali ia kenakan. Subhanallah…
Kami berkenalan saat tampias hujan mengiringi pada satu sore di halte depan sekolahnya. Ketika itu ia masih duduk di bangku SMA kelas dua. Maka, perkenalan kami pun berlanjut. Sebagai seorang lelaki yang secara usia lebih dewasa darinya, maka aku menganggap hubungan ini serius dan tidak main-main. Setelah ia lulus sekolah, aku membuka perbincangan untuk lekas meminangnya. Namun, ia menolak. Katanya, “aku belum siap.” Aku pun bersedia menunggu hingga ia siap. Jujur, aku serius dengannya.
Masih teringat, saat itu Minggu siang. Di ruang tamu, ia duduk sembari gundah. Aku baru datang dan lekas menghampirinya.
“Mas Ari, dua minggu lagi kita harus menikah!” katanya.
“Dua minggu lagi? Tidak terlalu cepat?” aku menjawab sembari terkejut. Aku bukan tidak ingin menikahinya, tapi bukankah pernikahan itu butuh banyak persiapan.
“Ah, Mas ini bagaimana? Waktu itu bukankah Mas yang menginginkan agar kita menikah lebih cepat? Ya, kita harus menikah dua minggu lagi. Sehari setelah Mbak Ratih menikah,” jelasnya.
Mbak Ratih adalah kakak perempuan Adinda, yang juga kakak iparku. Usia Mbak Ratih hanya terpaut empat tahun dari usia Adinda. Aku menghormatinya. Aku telah menganggapnya seperti kakak kandungku sendiri meskipun ia jelas-jelas lebih muda dariku. Maka dari itu, aku tetap memanggilnya dengan sebutan ‘mbak’.
Jika digambarkan secara fisik, Adinda memang lebih cantik dibandingkan kakak perempuannya. Adinda juga lebih berpendidikan daripada Mbak Ratih yang hanya sampai pada tingkat menengah.
“Kenapa harus sehari setelah Mbak Ratih? Kita perlu persiapan yang matang, Din…” tukasku.
“Persiapan yang mana lagi yang Mas maksud? Kita sudah saling kenal lebih dari setahun, dan menurutku itu cukup untuk kita membangun rumah tangga. Atau, jangan-jangan memang Mas sudah tidak berniat lagi memperistriku?”
“Bukan begitu maksudku. Baik, kalau itu memang keinginanmu. Semoga semuanya dimudahkan.”
Dalam perjalanan pulang ke rumah, aku berpikir, mengira-ngira hal yang menyebabkan Adinda sedemikian inginnya menikah sehari setelah Mbak Ratih menikah. Ah, tapi kupikir ini salah. Tidak baik berprasangka buruk terhadap orang yang kita cintai. Toh, aku telah berkomitmen menyayanginya selamanya dan menjadikannya ibu bagi anak-anak kami nanti.
Adinda, lukisan termanis dalam sketsa hatiku. Akulah pelukisnya. Dari wajahnya kugoreskan tebal tipis pesona. Cantik nian gadis itu. Dan tak beberapa lama lagi aku akan hidup bersamanya. Tak peduli betapa keras kepalanya ia. Yang jelas, telah kubayangkan bagaimana kelak anak-anakku bahagia. Mereka memiliki ibu yang istimewa, cantik, dan tentu saja cerdas. Kuakui, semangat Adinda untuk terus belajar sangat tinggi. Ia perempuan pintar yang pernah kukenal. Dalam riwayat pendidikannya, tak jarang prestasi terbaik diraihnya. Demikian pula dalam kehidupan kariernya. Ia selalu bersemangat meraih cita-citanya menjadi seorang akuntan. Aku kagum pada Adinda.
Hari pernikahan kami pun tiba. Tepat satu hari setelah Mbak Ratih menikah. Pesta yang sederhana. Hanya kerabat dekat saja yang kami undang. Sebenarnya, aku agak kecewa. Aku mengharapkan pesta yang lebih meriah daripada itu. Bukankah, ritual pernikahan ini hanya akan berlangsung sekali seumur hidupku, kecuali memang terjadi suatu hal dengan kami. Hmm, tapi aku tak berani membayangkannya. Aku telah cukup bahagia. Aku resmi menjadi suami Adinda. Harapku, menjadi bingkai yang menjaga hatinya.
Setelah menikah, kami memutuskan untuk lekas menempati rumah baru yang memang telah kusiapkan. Rumah yang sederhana, tidak terlalu buruk namun juga tidak terlalu mewah. Aku menyebutnya ‘rumah istimewa’ untuk kami berdua. Ya, lelucon saja sebenarnya. Apalagi ditambah dengan celetukan istriku, “Mas Ari, Mas Ari, kenapa kamu namakan rumah ini rumah istimewa? Lha, apanya yang istimewa? Hehe…”
Aku hanya tersenyum. Tidak menganggapnya terlalu serius. Aku tahu, itu hanya bercanda. Sudah sering memang Adinda melontarkan canda tawanya, yang bagi beberapa orang mungkin agak terkesan ‘meremehkan’. Itulah pekerjaan besarku sebagai suami. Aku wajib menuntunnya, mengajarkannya banyak hal. Dan aku yakin, jika pekerjaan besar itu dilakukan dengan cinta maka semuanya akan menjadi mudah. Aku sangat percaya itu.
Ketika kami menikah, Adinda masih semester empat. Hebatnya lagi, ia kuliah sambil bekerja. Sejak pukul delapan hingga pukul tiga sore ia bekerja di sebuah kantor akuntan publik, dan malam hari sekitar pukul tujuh malam ia kuliah di salah satu universitas swasta ternama. Ya, meskipun istriku itu tidak seperti istri-istri yang kebanyakan yang lebih banyak mengurusi keperluan rumah tangga, aku tetap bangga. Aku ikhlas membantunya, mengantar jemput kemana pun ia pergi, ikhlas pula walaupun ia tak cerdas mempersiapkan keperluanku seperti lazimnya seorang istri. Aku bahagia jika ia bahagia.
***
Selang tiga bulan setelah menikah, sepulang dari kantor, Adinda mengatakan, “Mas, tadi di kantor aku sakit, badanku panas, perutku mual. Aku langsung dibawa ke rumah sakit sama Pak Irwan. Kata dokter, aku hamil.”
Aku luar biasa bahagia mendengar kabar itu, “Alhamdulillah…”
“Mas senang?” tanyanya.
“Tentulah, Din. Siapa yang tidak senang jika seorang suami dikabarkan bahwa istrinya sedang hamil? Betapa luar biasa seorang perempuan yang sebentar lagi akan memiliki anak-anak yang lucu dan mungil…” aku menjawabnya dengan bahagia yang menggebu-gebu.
Adinda diam. Wajahnya terpancar raut yang biasa saja. Datar. Seperti tidak terjadi apa-apa.
“Kamu kenapa sayang? Kamu masih mual?”
“Hmm, tidak.”
“Lantas kenapa kamu diam?”
“Aku heran sama Mas.”
“Lho, kenapa heran?”
“Ya, heran. Melihat Mas terlalu senang. Aku tak habis pikir.”
Sejurus kemudian suasana menjadi hening. Baru kali ini perbincangan kami serius dan lama-kelamaan menjadi dingin kemudian beku. Apalagi ketika ia menjelaskan bahwa kehamilannya itu di luar rencanaya. Tidak ada perhitungan atas ini. Tidak seharusnya ia hamil dalam situasi yang seperti ini. Adinda masih ingin membangun karier dan mengenyam pendidikan.
“Mas, aku masih ingin cerdas.”
“Kamu cerdas, Dinda… Tanpa sekolah tinggi pun, aku yakin kamu cerdas.”
“Bukan hanya itu, Mas. Aku masih ingin mengejar cita-cita,” jawabnya.
“Kamu akan tetap bisa mengejar cita-cita, sayang. Jangan takut, aku selalu mendukungmu! Apa pun itu,” aku menenangkannya.
Setelah perbincangan itu, waktu kian berlalu. Makin lama perutnya makin membesar. Aku bahagia melihatnya. Istriku justru semakin terlihat cantik. Aku makin mencintainya. Cintaku semakin habis tercurah untuknya yang berbadan dua. Akan tetapi, ia masih belum bahagia sepenuhnya.
***
“Ari, segera ke rumah sakit sekarang. Adinda sedang dalam proses persalinan. Kami tunggu ya Nak,” suara ibu mertua di ponselnya sana.
Kukemudikan sepeda motorku hingga laju terus sekencang-kencangnya. Aku sudah tak sabar untuk segera sampai di rumah sakit. Alhamdulillah, sesampainya di sana istriku telah menyelesaikan proses persalinan dengan lancar. Aku mencium istriku dan bayi pertama kami dengan sejuta keharuan. Lagi-lagi, semakin aku mencintainya. Rasanya, aku ingin berteriak dan katakan, “Istriku yang cantik ini, Adinda, telah membuatku bahagia bertubi-tubi!” Aku menatap wajah Adinda yang pelan-pelan menitikkan air mata. Semoga yang kubaca itu benar, bahwa keharuannya sama seperti yang aku rasakan.
Seminggu setelah melahirkan, Adinda mulai beraktivitas seperti sebelumnya. Pagi pergi ke kantor, dan malam pergi kuliah. Anak kami, Nabila Kesya, sepakat kami titipkan pada ibu mertua, ibu Adinda. Namun sayangnya, ia masih merasa seperti belum memiliki seorang anak. Maka, tak heran kalau waktuku justru lebih tercurah untuk Nabila. Ya, seperti bertukar peran saja antara aku dan Adinda.
Tanpa aba-aba sebelumnya, dua bulan setelah Nabila lahir Adinda mengatakan bahwa ia meminta agar aku menceraikannya. Aku tak habis pikir dengan jalan pikirannya sekarang. Yang kutahu, sebelumnya kami memang baik-baik saja. Aku pun bingung. Katanya, hanya satu alasan bahwa keluarga kami sudah tidak bisa bersatu lagi, dan sudah tak ada cinta lagi di antara kami. Jujur, aku masih mencintainya. Namun, apa boleh buat. Aku tak bisa mempertahankannya, jika ia keputusannya itu memang sudah bulat.
Akhirnya, kini Nabila Kesya aku asuh sendiri dengan bantuan seorang baby sitter, yang juga tetanggaku. Aku masih mencintai Adinda. Awan hitam kian menebal. Jendela hening menjemput malam. Mulai dingin dan tak acuh. Sepi. Seorang balita perempuan berusia sekitar dua tahun terdiam. Dipeluknya majalah bersampul perempuan yang manis dengan kerudung. Katanya, sembari mengeja luka, “Mama…”
Arrrgghh…anak itu masih memanggilnya mama. Tahu apa dia deskripsi tentang mama. Luka. Hanya luka. Anak itu tidak tahu betapa mamanya “mencintainya” hingga ia diberi kesempatan penuh untuk hidup hanya bersama sang bapak tercinta. Ya, balita perempuan itulah anakku, Nabila Kesya namanya. Adinda, ananda merindukanmu.
Didedikasikan kepada Kesya, balita yang merindukan ibundanya… “Ibunda, kapan pulang?”
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer