Halaman

Jumat, 22 April 2011

“Sarinah dan Aku” HR. Bandaharo: Realisme Romantik dalam Puisi

oleh: Dwi Endah Septyani (2115071358/III B)

Menurut Kinayati Djojosuroto (2007, 220) dinyatakan bahwa aliran sastra merupakan sikap jiwa dan pandangan hidup yang menjadi haluan dan dasar penciptaan karya sastra yang dimiliki oleh setiap pengarang. Dalam suatu periodesasi kesusastraan, aliran sastra banyak berkembang mengikuti zamannya. Aliran sastra itulah yang kemudian diikuti oleh para penyair melalui ungkapan, diksi, maupun istilah dalam karyanya. Aliran-aliran dalam sastra diantaranya realisme romantik, realisme, realisme sosial, naturalisme, ekspresionisme, impresionisme, dan imajisme (Herman J. Waluyo, 1991, 32).
HR. Bandaharo (1917-1993), penyair Pujangga Baru, banyak menunjukkan karyanya dalam situasi keberpihakan pada realisme tapi bukan semata-mata penuh pada keadaan sosial yang sedang terjadi. Salah satu karyanya, “Sarinah dan Aku” misalnya, sebuah puisi yang lahir dalam konteks perjuangan dan bernilai patriotik yang ada pada saat itu. Itulah bukti nyata bahwa beliau masih pula memperhatikan realita apa adanya.
Realisme selalu memasukkan moral sebagai sarana mengkritik kenyataan. Dalam perkembangannya, muncullah realisme romantik di samping ada pula realisme sosial. Antara keduanya tidak terlalu memiliki perbedaan yang signifikan, hanya saja dalam realisme romantik kenyataan hidup yang sebenarnya digambarkan dengan penuh kebahagiaan atau pun kesedihan yang terlalu berlebihan. Dalam beberapa paragraf berikut, akan dipaparkan uraian mengenai realisme romantik dalam puisi “Sarinah dan Aku.”  
Ada beberapa hal yang mencirikan suatu karya sastra beraliran realisme romantik, terutama dalam puisi “Sarinah dan Aku.” Pertama, kenyataan hidup yang bahagia digambarkan dengan penuh keindahan tanpa cela dan sangat sempurna. Perhatikan beberapa kutipan puisi berikut:

1
Ketika aku bertemu Sarinah, putri Juwita.
Ia sedang melonjak melompat di dalam taman,
Mengejar rama-rama mengerbang-terbang mengisap madu,
Memandang membelai kembang semerbak di tepi kolam
Tegak tertegun mendengar nyanyian burung di dahan kayu,
Merdeka bebas bergerak merentak dalam keindahan alam

Kutipan puisi di atas merupakan bait pertama dari lima bait lainnya pada bagian satu puisi “Sarinah dan Aku”. Keenam bait tersebut seluruhnya digambarkan dengan sangat sempurna karena perasaan bahagia penyair sangat ditonjolkan sehingga penceritaannya sungguh menggugah perasaan pembaca pula. Pada bagian awal puisi ini, penyair menciptakan alur puisi dengan memperkenalkan keadaan bagaimana perasaan tokoh Aku ketika bertemu dengan Sarinah yang penuh dengan keindahan.
Jika kebahagiaan digambarkan dengan keindahan yang begitu bergelora, maka sebaliknya, kesedihan atau keperihan kenyataan hidup digambarkan pula dengan cara yang terlalu sentimental atau cengeng bahkan dimungkinkan bermaksud agar air mata pembaca ikut pula terkuras seperti yang dialami tokoh Aku. Inilah ciri kedua yang menandakan puisi “Sarinah dan Aku” beraliran realisme romantik. Berikut kutipannya:

2
Bunga-bungaan tiada harum semerbak lagi,
Warnanya menyilau indah menakutkan.
Kupandang Sarinah dan ia memandang padaku,
Dalam bertemu pandang kami disungkup gelap gulita.

4
Bergesau secara napasnya,
Berderu, rentak kakinya.
Terbeliak matanya memerah darah,
Mengalir peluhnya basah menyimbah!

5
Di kanan kiriku penuh mayat bergelimpangan,
Pecak-pecak darah melumuri bumi.
Taman yang indah telah datar tandus melapang,
Muram diam, hiba rawan, jiwa terasa kehilangan…….

Terbawa terseret aku dalam bondongan manusia itu,
Tertolak terhenyak, tertunda tersepak, merangkak terpijak,

7
Tegak terbungkuk-bungkuk, merangkak tersuruk-suruk,
Kurus kering, kulit pembalut tulang.
Terdera siksa, dina terhina,
Miskin melarat, sehelai kain dipinggang.
Mendesing bentak, berdenyat melecut cambuk,
Tubuh letih melemah, ta’ sempat membaringkan badan,
Terhalang tagak dan gerak, terbelenggu kaki dan tangan.


Secara garis besar, puisi “Sarinah dan Aku” lebih banyak mendeskripsikan kesedihan tetapi bukan berarti mencerminkan kekalahan atau ketakberdayaan. Pada bagian akhir puisi, terdapat kutipan yang menyatakan bahwa penyair melalui tokohnya dalam puisi mencerminkan perjuangan atau kepatriotikan. Artinya, meskipun terdapat kesedihan, para tokoh masih berjuang untuk bangkit dan tidak ingin larut dalam kedukaannya. Mari kita lihat kutipan di bawah ini:

10
Kutatap bibirnya pucat ta’ berwarna.
Berkusip aku: “Sarinah, kita cari kembali bayangan yang indah itu.”
Kulangkahkan kakiku terdengar belenggu gemerincing,
Berkata Sarinah: “Lemparkan belenggumu, cuci nistamu hina.”
Berkata aku: “Akan kubawa Sarinah, tuan, lepaskan kakiku dari belenggu.”
Kemana Sarinah ‘kan kubawa, badan lemah anggota terikat?
Kemudian membujuk ‘rang banyak itu: “Diamlah, bebanmu jangan perberat,
Tunggu dan bersabar, bila engkau ‘lah tegap kuat, Sarinah kembali kepadamu,
Sementara itu kami menjada dia.”

Ciri lain dari puisi yang beraliran realisme romantik yaitu seringkali berusaha membuai perasaan pembaca dengan penggambaran suasana alam yang lembut. Selain itu, cenderung menggambarkan keindahan alam yang didasarkan atas kepentingan memperindah kenyataan yang ada. Dalam puisi “Sarinah dan Aku” diantaranya: taman yang indah, rama-rama, kembang semerbak, nyanyian burung, dahan kayu, nyaring merdu, lebah bergantung, sinar, semerbak bunga-bungaan, setitik embun, sehelai daun, langit, guntur, celah kayu-kayuan, kabut, dan ulat.
Berdasarkan uraian singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa puisi berjudul “Sarinah dan Aku” karya HR. Bandaharo menganut aliran realisme romantik yang bertemakan kepahlawanan karena kenyataan yang digambarkan dalam puisinya digambarkan dengan hal baik kebahagiaan maupun kesedihan dengan cara yang berlebihan dan menitikberatkan pada perasaan.


DAFTAR PUSTAKA
Djojosuroto, Kinayati. 2007. Dasar-Dasar Teori Apresiasi Puisi. Jakarta: JBSI FBS UNJ.

Waluyo, Herman J. 1991. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Penerbit Erlangga.


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 komentar: