Halaman

Sabtu, 30 April 2011

Kaulah, Sahabat...

“Sahabat, kaulah puisi yang tak selesai digerus diksi!”


oleh Dwi Endah Septyani


“Aku pesan dua buah puisi untuk ucapan ulang tahun adikku besok! Penting. Jika tidak, dia akan marah padaku.”
Masih terdengar jelas kata-katanya yang memekik telingaku kemarin siang. Ya, lagi-lagi dia menuntutku untuk membuat puisi. Ah, entahlah. Kejadian ini sudah hampir seratus kali terjadi. Lelaki itu, Arjuna namanya. Aku mengenalnya sebagai sosok yang berkepribadian unik dan sangat menarik. Bahkan, sampai saat ini aku belum punya jawaban atas pertanyaan, “Hei, sobat! Kau kemanakan puisi-puisi buatanku yang kaupesan?”
Namaku Dewa, penyair kamar yang malu mengungkapkan buah tinta. Akulah, lelaki pendiam dan bersahabat dengan hujan, puisi, dan tentu saja Arjuna. Aku tidak tahu harus minum pil apa supaya aku percaya diri ‘memamerkan’ kelihaianku menggoyangkan pena di atas kertas. Aku tak pernah punya cukup keberanian untuk itu. Aku takut. Aku trauma.
Bermula saat pelajaran bahasa Indonesia di bangku kelas dua SMP, Pak Sastra menugaskan kami membuat sebuah puisi tentang persahabatan. Aku bahagia setengah mati. Sayang, dalam perjalanan pulang hujan deras. Tapi, kata-kata terus berloncatan di kepalaku. Kupaksakan berhenti. Tapi tak ada tempat berteduh. Enyahlah! Aku harus menuliskannya. Kukeluarkan sebuah buku saku bersampul biru, juga sebatang pena. Kutuliskan, kuberanikan menulis di bawah deras hujan.
Cukup satu kalimat:
Sahabat, kaulah puisi yang tak selesai digerus diksi!
Hujan berhenti. Kugoyangkan ujung pena. Ajaib. Seketika itu, kepalaku kosong. Tak ada lagi irama tentang puisi. Semuanya jadi hitam. Terpaksa kuhentikan niatku melanjutkan puisi. Itulah kali pertama aku merasakan adanya daya magis dalam puisi dan hujan. Aku merasakan kedamaian di dalamnya.
***
Keesokan harinya dalam pelajaran bahasa Indonesia.
“Baik, anak-anak. Ayo kumpulkan puisinya,” seru Pak Sastra mengawali pelajaran.”
Huh, setelah bertahun-tahun aku baru sadar ternyata tidak ada sastra dalam bahasa Indonesia. Ironis. Seharusnya, dalam jadwal mata pelajaran dituliskan “bahasa dan sastra Indonesia.” Ya, akhirnya aku cukup mengerti alasan mengapa Pak Sastra begitu horor jika mengajar. Mungkin, beliau sedikit tersinggung karena namanya tidak pernah disinggung. Sahabatku, Arjuna, pun sepakat dengan hipotesisku ini. Hipotesis yang sangat tidak ilmiah memang.
Pak Sastra merapikan tumpukan kertas berisi puisi hasil karya kami. Aku deg-degan. Super deg-degan. Arjuna, yang duduk di sebelahku melihatku sambil tersenyum kecil. Tepatnya sih meledek. Dia hafal benar, aku, sahabatnya, hampir tidak pernah sanggup bertahan dalam situasi seperti itu. Keringat dingin mulai bercucuran, jariku bergeletar, kakiku menggoyang-goyangkan kaki meja. Lagi-lagi, Arjunalah yang paling iseng meledekku. Mungkin pikirannya sedang berkata, “Duhai Bapak Guru, sahabatku Dewa, penyair kamar itu sedang berjuang mengendalikan keringat dingin dari pori-pori kulitnya sebelum kemudian akhirnya membeku!”
“Baik, nama yang Bapak sebutkan silakan maju membacakan hasil karyanya,” kata Pak Sastra yang semakin membuat telingaku semakin bergidik. Aku takut.
Aku Dewa, lelaki pendiam dan pengecut, yang tak pernah punya cukup keberanian untuk tampil ke depan. Hfff…dalam hati aku bermantera, “Ya Allah, selamatkan aku, selamatkan aku, selamatkan aku”
“Dewanda Arya, maju dan bacakan hasil karyamu!” suaranya memecah keheningan kelas. Terkejut. Semuanya hampir tak tampak di mataku. Degup jantungku semakin cepat dan keras. Andai Arjuna mampu mendengarnya, ia pasti membantu menyelamatkanku.
“Semangat Dewa, kamu pasti bisa!” Arjuna menyemangatiku dengan suara yang berat. Aku tahu dia khawatir terhadapku. Aku masih diam. Langkahku berat dan seperti belum sadar kalau ternyata aku telah memegang secarik kertas yang akan kubaca tulisannya.
“Sahabat, buat tinta Dewanda Arya.”
Tepuk tangan teman-teman bergemuruh. Semakin membuatku hampir tak sadarkan diri. Tapi, kulihat salah satu dari mereka tampak tenang dan tetap tersenyum. Terlihat sama sekali tidak tegang. Ialah Arjuna.
Arjunalah, satu-satunya sahabatku, bahkan satu-satunya temanku yang memanggilku “penyair kamar.” Ia juga paham, aku suka sekali menulis puisi di bawah hujan. Dan inilah kali pertama aku membacakan karyaku di depan umum. Ah, Arjuna, bagikan rasa percaya dirimu sedikit saja!
Aku fokus pada kertas yang ikut bergetar di tangan. Berusaha menguasai keadaan dan menyimpan wajah Arjuna yang tetap tenang.
“Sahabat, kaulah puisi yang tak selesai digerus diksi.”
Dalam hati aku berkata, Yeah! Arjuna, aku berhasil membacakan karyaku. Hmm, namun teman-teman tetap diam. Seperti menungguku membacakan kalimat selanjutnya. Aku tahu, mungkin teman-teman bingung dengan puisi buatanku.
Sekejap kemudian Arjuna memandu teman-teman bertepuk tangan. Utamanya, ingin memberitahu bahwa puisiku hanya sebaris kalimat itu. Tidak lebih. Tepuk tangan bergemuruh untuk kedua kalinya. Meskipun, aku tidak tahu apa arti tepuk tangan itu. Entahlah, yang penting aku telah menggugurkan kewajibanku membaca puisi.
Lagi-lagi, panggilan Pak Sastra membuatku terkejut.
“Dewa, itu puisi karya siapa?”
“Karya saya, Pak,” jawabku sekenanya.
“Kamu jujur itu karyamu?” beliau kembali bertanya.
“Iya, Pak. Saya jujur. Saya menulisnya kemarin sepulang sekolah, Pak.”
Seseorang yang kukenal sekali suaranya ikut pula masuk dalam perbincangan kami. Arjuna angkat bicara.
“Iya, Pak. Puisi itu benar-benar hasil karya Dewa. Dia bukan plagiator, Pak! Saya punya bukti kalau puisi itu memang tulisan Dewa,” Arjuna membelaku. Padahal, aku sendiri malas berdebat dengan orang lain, sekalipun puisi itu memang nyatanya karyaku. Terlebih berdebat dengan Pak Guru, ah aku tidak suka.
“Coba, barang buktinya tunjukkan kepada Bapak!” Pak Sastra masih saja ingin memenangkan perdebatan ini.
Aku justru santai. Tidak sedikit pun berharap aku memenangkan perdebatan ini. Meskipun aku tahu, betapa marahnya Pak Sastra jika siswanya berplagiat ria. Dan hukumannya adalah tidak mendapatkan nilai dalam kegiatan pelajaran kali itu. Ah, apapun itu. Aku tidak peduli. Aku sudah cukup bahagia membuahkan karya, meskipun mereka tidak pernah mau mengakuinya. Kecuali Arjuna. Aku juga tidak peduli dengan apa perkataan orang lain tentang aku dan puisiku, yang jelas aku selalu bahagia ketika mampu mengolah kata hingga meramunya jadi puisi yang bermakna. Apalagi jika hujan tiba. Imajiku bertambah melesat-lesat dan majasku berhamburan ke sana kemari.
Arjuna mengobrak-abrik isi tasnya, mencari barang bukti yang hendak ditunjukkan kepada Pak Sastra. Aku tetap diam. Bahkan tidak tahu, barang apa yang sedang dicari Arjuna. Aku menghampirinya.
“Apa yang kamu cari, Arjun?”
“Benda yang akan menyelamatkanmu dari keadaan ini.”
“Sudahlah, Jun, aku ikhlas kalau Pak Sastra berbuat ini padaku,” jawabku dengan suara yang pelan, khawatir kalau-kalau Pak Sastra mendengarnya.
“Ah, kenapa tidak ada! Semalam aku melihatnya.”
“Lupakan saja, Arjun. Aku akan baik-baik saja. Tenanglah.”
Arjuna, sahabatku masih sibuk mencari benda yang entah berwujud apa. Aku sendiri, yang menulis puisi itu tidak tahu apakah ia benar-benar punya bukti. Aku benar-benar lupa. Benar kata Arjuna di siang itu, katanya aku ini selain pemalu juga pelupa! Hilangkan sakitmu itu, mau jadi apa kau kalau begini terus. Hmm, aku hanya tersenyum malu. Lagi-lagi, aku baru sadar dan selalu diingatkan untuk sadar. Ya ya, aku pemalu dan pelupa. Katro ah!
“Mana Arjuna? Kamu tidak punya bukti kan?” Pak Sastra mulai mengisyaratkan bahwa beliau memenangkan “pertandingan” kali ini.
“Emmm, emm, maaf Pak, padahal semalam saya menyimpannya di dalam tas,” Arjuna tetap bersikeras membelaku. Arjuna, sahabatku, memang pemberani.
“Baik, anak-anak, pelajaran kali ini sempurna dihabiskan hanya untuk mencari barang bukti. Bapak tegaskan sekali lagi, bahwa Dewanda Arya telah memplagiat puisi seorang penyair. Maka dari itu, diputuskan, Dewanda tidak mendapatkan nilai alias nol dalam pelajaran menulis puisi!” katanya dengan tegas.
Anehnya, aku tidak sama sekali merasa tereksekusi dan kalah dalam pertandingan. Aku malas berdebat atau hanya sekadar bertanya, “dari mana Bapak tahu kalau puisi saya adalah hasil plagiat? jika iya, penyair siapakah itu yang memiliki pikiran yang sama dengan saya!”
Ya sudahlah, meskipun begitu, aku mengambil hikmah dari kejadian ini. Arjuna, yang dengan sekuat upaya membebaskanku dari ‘cengkeraman’ Pak Sastra. Atau bahkan, jangan-jangan ini pertanda bahwa suatu hari nanti puisiku mengubah statusku dari ‘penyair kamar’ menjadi ‘penyair tenar’. Walaupun memang, perlu tempel sana tempel sini untuk mengubahku menjadi sosok pemberani seperti Arjuna.
***
Di pojok sekolah, depan mading, pagi-pagi sebelum bel masuk berbunyi.    
“Ih, keren…!” ucap salah satu siswa terkagum-kagum.
“Wuish, siapa dulu dong, sahabat gue nih. Keren kan?” balas Arjuna.
Sebuah pengumuman tertempel di mading sekolah: Selamat kepada Dewanda Arya, Juara 1 Lomba Menulis Puisi Siswa Tingkat Nasional.
Ketika itu, Dewa sudah di dalam kelas, menunggu Arjun sambil menulis puisi pesanan Arjun yang sedikit mengancam itu. Teman-teman sekelas berhamburan menyalami dan mengucapkan selamat padanya. Dewa tidak mengerti maksud mereka. Ia merasa tidak sedang mengalami kesuksesan apa pun. Yang, ia tahu, saat itu bertepatan sekali dengan hujan. Dan seketika itu pula imajinya tumpah melimpah ruah. Sebuah prestasi menghampirinya dan dijemput diam-diam oleh sahabatnya, Arjuna.
“Selamat, sahabat! Kamu telah memenangkan lomba menulis puisi siswa SMP tingkat nasional!” kata Arjuna dengan sumringah. “Kamu hebat, penyair kamar! Kamu hebat!” tambahnya.
Aku mengernyitkan dahi karena tidak mengerti. Aku sama sekali tidak pernah merasa mengikuti lomba apa pun. Toh, aku sudah bahagia ketika telah menyelesaikan puisi meski hanya sekadar ditempelkan di dinding kamar. Atau hanya sekadar memenuhi pesanan Arjuna, pesanan yang aneh: membuatkannya puisi yang bahkan aku tidak tahu ke mana perginya puisi-puisi itu.
Hah! Arjuna menafsirkan tanyaku barusan.
“Puisimu kutinggalkan di kotak-kotak lomba. Maaf, aku tidak mengatakannya padamu. Dan salah satu puisimu yang katanya hasil plagiat itu, berhasil lolos menjadi juara. Selamat! Pengumuman lomba-lomba menulis puisi yang lain akan segera menyusul beberapa hari ini. Dan aku yakin kamu memenangkannya. Kamu penyair hebat, sobat!”
Aku terharu dibuatnya, aku menepuk pundaknya agak keras. Agak terbahak, kukatakan padanya, “Sahabat, kaulah puisi yang tak selesai digerus diksi!”
Tawa kami pun lepas satu-persatu. Lagi-lagi dia mengatakan untuk kesekian kalinya, “Dasar, penyair kamar! Kamu hebat!”
Begitulah persahabatan kami terjalin indah. Arjuna memapahku dari jalan kegelapan dan kesunyian. Saling menopang, saling menasihati di kala alpa dan salah. Membangkitkanmu dari tidur dan istirahat yang terlalu lama meskipun hanya untuk sekadar mengatakan, “kita harus berjalan terus!” Yang dalam diam, ternyata ia juga mencari jalan kesuksesan untuk sahabatnya.



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer