Halaman

Minggu, 24 April 2011

Ngobrol Bareng Taufiq Ismail*

Bagaimana kabar Bapak?
Alhamdulillah baik.

Kemarin Bapak dari Padang Panjang ya, kalau boleh kami tahu ada acara apa di sana?
Di sana ada acara Diskusi Seputar Kesusastraan Indonesia.

Apa jenis karya sastra pertama Bapak dan kapan Bapak menciptakannya?
Karya sastra pertama saya adalah gurindam. Saya menciptakan gurindam tersebut saat berusia tujuh tahun tepatnya kelas dua SR (Sekolah Rakyat) di Semarang. Ketika itu tahun 1947, masih zaman penjajahan Jepang.

Apakah tulisan tersebut dimuat di surat kabar?
Ya, namanya surat kabar Sinar Baroe di Semarang.

Berarti, ketika Bapak berusia tujuh tahun, Bapak dan orang tua tinggal di Semarang? Bukankah Bapak dilahirkan di Bukittinggi?
Ya, saya memang lahir di Bukittinggi. Jadi begini ceritanya, ayah saya (KH Abdul Gaffar Ismail) adalah tamatan dari sekolah Parabek Bukittinggi sedangkan ibu (Timur M Nur) tamatan sekolah Diniyah Putri Padang Panjang. Ketika tamat sekolah mereka aktif di bidang politik dalam suatu partai yang dinamakan Permi, yang tidak disukai Belanda. Empat orang pendiri partai tersebut, termasuk ayah saya dihukum oleh Belanda dengan cara dibuang. Para pimpinannya tersebut diantaranya Mochtar Lutfi, Ilyas Yakub, Jalaludin Thaib, dan ayah saya, Abdul Gaffar. Mereka, kecuali ayah saya, dibuang ke Digul. Ayah saya dibuang keluar Minangkabau dan boleh memilih tempat. Beliau memilih ke Pekalongan lalu pindah ke Semarang. Di Semaranglah saya menghabiskan masa kanak-kanak, namun ketika SMP saya kembali ke Bukittinggi, dan kembali lagi ke tanah Jawa tepatnya Pekalongan untuk melanjutkan Sekolah Menengah Atas.

Apa yang memotivasi Bapak ketika menulis pertama kali?
Kedua orang tua saya adalah guru, namun kemudian berganti profesi menjadi wartawan surat kabar Sinar Baroe yang terbit siang hari. Setiap pulang dari kantor ayah saya selalu membawa Sinar Baroe, di sanalah ada nama ayah saya. Ya, pada awalnya, sebagai seorang anak berusia tujuh tahun saya berpikir betapa bangganya jika nama saya ada di surat kabar seperti ayah. Nah, karena rasa bangga itulah keinginan saya untuk meniru ayah semakin kuat. Lantas, dalam usia yang cukup kecil saya terus dibimbing ayah untuk menulis. Akhirnya tulisan saya berupa gurindam itu dimuat di Sinar Baroe, mungkin karena ayah juga menjabat sebagai wakil redaksi saat itu (Bapak Taufiq Ismail menjawab sambil tersenyum).

Jenis tulisan seperti apa yang sering Bapak buat ketika masih kanak-kanak?
Tentu saja yang paling mudah bagi anak-anak, misalnya pantun-pantun, gurindam-gurindam.

Apakah ayah Bapak juga membimbing anak-anak yang lain?
Ya, tentu saja. Mereka tidak hanya meniru ayah, tetapi juga saya, kakaknya.

Nah, kalau begitu bisa saya tarik sedikit kesimpulan bahwa ayah Bapak mewariskan keterampilan menulis pada anak-anaknya?
Bisa dibilang seperti itu.Tetapi, yang paling kental yang diwariskan orang tua kami adalah budaya membaca. Ketika berusia tujuh tahun pun, saya sudah bisa melihat bahwa saya suka sekali membaca buku. Saya suka buku apa saja, meskipun yang ada di rumah kebanyakan adalah buku bahasa Indonesia dan bahasa Arab. Setiap bulan saya diajak ayah ke toko buku. Lingkungan keluarga yang gemar membaca itulah yang membentuk kebiasaan dan kecintaan saya terhadap buku. Misalnya, setiap malam setelah semua pekerjaan selesai (sudah makan malam, salat), orang tua saya langsung membuka buku.

Lalu, bagaimana kaitan antara membaca dengan menulis?
Membaca dengan menulis sangat berkaitan erat. Saya sekolah di SMP 1 Bukittinggi, di sana tidak ada perpustakaan sehingga saya harus berjalan ke depan jalan sekolah yang hanya berjarak 500 meter dari sekolah. Di sanalah saya menjadi anggota perpustakaan. Namun, untungnya, ketika di SMA Pekalongan, di sana telah ada perpustakaan. Saya pun menjadi anggotanya. Di sana, di samping saya membaca, saya juga lebih sering menulis karena saya semakin termotivasi.

Mengapa Bapak mengatakan kalau Bapak semakin termotivasi? Bisa dijelaskan?
Pada saat SMA, saya semakin termotivasi untuk menulis karena banyak teman-teman yang juga hobi menulis. Jadi, kami berlomba-lomba untuk mengirimkan tulisan tersebut ke media massa.

Ke mana saja tulisan itu Bapak dan teman-teman Bapak kirim?
Karena kami di Pekalongan dan ingin mengirimnya ke tempat yang lebih baik, tentu saja kami mengirimkannya ke media massa yang ada di Jakarta. Ketika itu, kami siswa SMA Pekalongan yang senang mengirim tulisan ke media massa berjumlah lima orang, diantaranya M. Jalaludin, Hadi Utomo (cerpen), Sukanto (puisi), S.N. Ratmana (cerpen), dan saya (puisi).
Apakah Bapak ingat, siapa penulis besar Indonesia yang sama-sama menulis ketika itu?
Di Jakarta ada Ajip Rosidi dan S.M. Ardan, di Semarang ada N.H. Dini, W.S. Rendra di Solo dan Motinggo Boesye di Bukittinggi. Saat itu, mereka juga masih SMA.

Sebenarnya ada apa? Mengapa perkembangan sastra saat itu berkembang bersamaan hampir di seluruh nusantara? Atau hanya karena perintah guru?
Tidak, semua itu bukan karena perintah guru, melainkan berangkat dari inisiatif kami. Ketika di perpustakaan, kami mengenal buku, majalah, maupun media massa lainnya. Di dalamnya, terdapat ruangan sastra. Jadi, kami aktif di sana. Sebagai awalan, kami mengirimkan tulisan ke Suara Merdeka Semarang karena tidak cepat menunggu tulisan untuk dimuat di media massa Jakarta. Tulisan saya saja membutuhkan waktu dua tahun untuk dapat dimuat di media massa Jakarta. Ya… jadi harus sabar menunggu, jangan putus asa.

Pada saat SMA, apakah Bapak pernah memiliki impian untuk menjadi salah seorang pendiri Majalah Sastra Horison?
Tidak, impian itu tidak pernah terpikir oleh saya. Waktu itu saya hanya ingin menulis, menulis, dan menulis.

Apakah menurut Bapak, menulis itu dapat dijadikan sebagai hobi atau dapat juga sebagai sumber penghasilan?
Sewaktu SMA saya dan teman-teman mulai berpikir bahwa hidup sebagai sastrawan untuk mendapat nafkah dari karya sastra tidaklah mudah. Kami berpikir bagaimana kalau nanti melanjutkan sekolah dan masuk jurusan sastra. Ternyata kami dapat informasi bahwa itu tidak mudah. Menurut saya, wartawan adalah profesi yang sangat cocok untuk orang yang hobi menulis. Selain mempunyai penghasilan tetap sebagai wartawan, juga tetap bisa menyalurkan hobinya sebab proses kreatifnya tidak akan berhenti.

Bagaimana proses penciptaan karya sastra yang Bapak alami?
Ketika kecil, saya menciptakan karya sastra hanya sebatas menuliskan pengalaman pribadi, pengalaman seorang anak-anak. Namun, ketika sudah mulai matang dalam menulis, misalnya dalam Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Benteng, dan Tirani, saya mulai memasukkannya ke dalam dunia luar yang lebih luas, misalnya pendidikan, politik, dsb.

Menurut Bapak, apa saja sumber-sumber penciptaan karya sastra?
Dalam menulis memang harus ada sumbernya, yang sering kita sebut sebagai inspirasi. Sumber yang pertama adalah bacaan. Dengan membaca, seorang sastrawan akan mempunyai sumber yang kaya ibarat sumur yang ditimba atau digali. Jadi, harus banyak membaca. Yang kedua adalah pengalaman hidup. Orang yang semakin bertambah usianya akan semakin banyak pengalamannya dalam hidup. Sumber yang ketiga adalah melakukan perjalanan, mengunjungi daerah atau negeri lain. Akan tetapi, tidak hanya sekadar berkunjung, tetapi juga harus memasang mata, telinga, dan baca sejarahnya, kemudian temuilah orang-orang untuk berdiskusi. Dan sumber yang keempat adalah ikut berdiskusi, konferensi, dan seminar-seminar. Diskusi-diskusi saat ini bisa kita lihat di televisi.

Apakah perkembangan zaman turut mempengaruhi dunia kesusastraan Indonesia?
Tentu, tentu saja. Seperti karya sastra sekarang yang cenderung berbau pornografi. Nah, kita ini sekarang masih dalam tahap itu. Tetapi, memang apa boleh buat? Itu terpaksa harus dilalui.

Nah, menurut Bapak, sebagai mahasiswa, bagaimana kami harus menyikapi karya-karya sestra yang berbau pornografi saat membaca, misalnya membaca karya Ayu Utami (Saman)?
Ya, itu harus disikapi dengan matang, karena Ayu Utami itu adalah sebuah produk dari zaman yang sakit. Mahasiswa sebagai penggerak sebaiknya mengikuti organisasi kampus, suka berdiskusi, agar bisa mempersenjatai dalam menghadapi masyarakat dari zaman yang sakit.

Maksud Bapak?
Ya, zaman ini kan sakit. Coba kita lihat sekarang bahwa nilai-nilai yang ada dalam masyarakat saat ini banyak yang kikis seperti nilai keimanan, kesopanan, rasa tanggung jawab, dan rasa malu.

Sebenarnya menurut Bapak, mengapa hal ini bisa terjadi?
Jadi begini, puncaknya tahun 1999 mulai terjadi perubahan politik yang begitu besar, sesudah tujuh tahun masa represi orde lama, 32 tahun orde baru, jadi semua 39 tahun. Pada 1-3 tahun pertama masa orde baru pengekangan sangat terasa di Indonesia sehingga akhirnya setelah 39 tahun kita dikekang, kita merasakan perubahan besar-besaran karena kebebasan ekspresi menjadi sangat leluasa. Misalnya, pers tidak perlu lagi mengurus SIUPP (Surat Izin Untuk Penerbitan Pers) jika ingin terbit. Orang juga bebas mengkritik bahkan sampai mencaci-maki, kemudian juga boleh mendirian partai sesukanya. Nah, semua itu diikuti pula oleh kebebasan menulis, baik pers, dalam iklan-iklan, maupun internet. Dan internet belakangan menyebabkan kebebasan yang menurut saya berlebihan.

Apa arti kebebasan yang salah dalam sastra?
Kebebasan yang salah dalam sastra itu adalah kebebasan yang mengutarakan pemikiran yang tidak membangun hingga sampai pada masalah-masalah di luar akhlak. Kebebasan ini memang sulit dihindari karena memang tidak ada hukumannya. Namun, untungnya saat ini sudah ada UU APP meskipun awalnya terjadi perlawanan besar-besaran karena walau bagaimana pun segala sesuatu itu harus ada batasannya.

Seberapa besar kesusastraan Indonesia mempengaruhi masyarakat kita sekarang?
Sangatlah besar pengaruhnya. Yang paling penting adalah bahwa mereka tidak berdiri sendiri. Sastra yang ‘aneh’ itu bahu-membahu bersama visualisasi, bisa dalam bentuk VCD, DVD, dsb. Apalagi saat ini harganya sangat murah dan mudah didapat siapa pun. Mereka juga berjalan bersama narkoba, alkohol, dan nikotin. Jadi, kebebasan itu tidak berjalan sendiri tetapi saling bahu-membahu membela dirinya di atas kekuatan yang sungguh luar biasa yaitu modal raksasa.

Lalu, apa arti sastra bagi Bapak?
Sastra adalah sastra. Sastra yang sebenarnya adalah yang mampu memberi pencerahan kepada manusia, yang menyebabkan manusia menjadi lebih arif, berakhlak, dan mengingat Allah. Kita harus pegang teguh itu, meskipun kita hidup dalam masyarakat yang berbeda-beda yang disebut pluralistik. Kita banyak menghadapi orang-orang yang sangat dipengaruhi oleh pikiran Barat, bahkan ada yang menjadi budak dari pikiran itu. Maka, berhati-hatilah kita.

Apakah latar belakang budaya mempengaruhi karya sastra Bapak?
Tentu. Saya berasal dari keluarga muslim yang memiliki pendidikan Islam yang sangat kuat. Itu bisa dilihat dari karya-karya saya. Penulis lain juga pasti memiliki latar belakang berbeda.

Berkaitan dengan kesukaan menulis dan membaca, apakah Bapak mewariskannya kepada anak Bapak?
Untuk menulis memang tidak, tetapi untuk membaca iya. Anak saya juga sangat suka membaca. Tetapi, itu banyak ia gunakan untuk bidang yang ditekuninya, yaitu bisnis. Itu pun, sudah membuat saya banyak bersyukur.

Buku apa yang paling berpengaruh bagi Bapak?
Banyak, banyak sekali. Saya tidak bisa memilihnya karena buku itu bagus-bagus. Setiap kali saya membaca, saya ingat buku dan isinya. Hasil dari membaca itu kemudian saya terapkan pada tulisan saya.

Kalau dihitung, berapa banyak buku yang Bapak baca selama sebulan?
Tidak tentu, yang jelas setiap hari saya pasti membaca. Sastrawan yang selalu mengukur jumlah buku yang dibaca adalah Rosihan Anwar. Dalam seminggu, dua buku habis ia baca.

Apa pesan Bapak kepada kami mahasiswa terutama yang berkecimpung dalam bidang bahasa dan sastra Indonesia?
Ada dua. Pertama, banyaklah membaca dan yang kedua, teruslah berlatih menulis.

Bagaimana kami harus bersikap jika tidak bisa meneruskan proses menulis hingga selesai?
Nah, itu yang dinamakan writer’s block. Asal kalian tahu, yang mengalami itu tidak hanya kalian saja, tetapi ada sepuluh, seratus, seribu, sepuluu ribu orang, bahkan lebih, pada hari ini di Indonesia. Banyak sekali orang yang mengalami hal ini.

Lalu bagaimana cara mengatasinya? Apakah dihentikan sampai di situ?
Jika mengalami writer’s block, singkirkan dahulu tulisan itu. Pada suatu waktu, ketika ingat atau menemukan inspirasi lanjutkan kembali. Kesampingkan saja tetapi jangan sampai dihentikan.

Apa yang menyebabkan writer’s block itu terjadi? Apakah karena kurang membaca?
Ya, itu salah satunya. Selain karena kurang membaca, kondisi tubuh yang kurang sehat juga berpengaruh

Bagaimana Bapak mengatasi jika ide muncul tiba-tiba tetapi Bapak belum sempat mencatatnya? Apakah tidak takut jika ide itu hilang?
Saya ingat-ingat saja karena ide itu nantinya akan seperti lampu yang menyala. Akan tetapi, itu dahulu ketika masih muda, sekarang saya lebih sering mencatatnya dalam buku appointment karena banyak lupa.

Apa karya Bapak yang paling berkesan?
Aku dan Bapak Taufiq Ismail, tepat di ruang tamunya ^^
Semua berkesan, tetapi yang paling berkesan adalah Benteng, Tirani, dan Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia karena dibuat oleh pemikiran yang lebih matang.

*Tugas semester III mata kuliah Dasar Keterampilan Berbicara, bertemu langsung dengan Bapak Taufiq Ismail di kediamannya di daerah Utan Kayu, Jaktim. ^^


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 komentar: